Pengolahan Pangan dengan Suhu Tinggi dan rendah
LAPORAN
PRAKTIKUM
TEKNOLOGI
PENGOLAHAN PANGAN DAN HASIL PERTANIAN
PENGOLAHAN
SUHU TINGGI DAN SUHU RENDAH
Oleh
Nama : M. Irsyad Haznim
NIM : 171710101086
Kelas : THP B
Asisten : 1. Lilik Krisna Mukti
2.
Ika Wahyuni
3.
Seno Pratama Putra
4.
Afina Desi Wulandari
5.
Livia Wahyuni
PROGRAM
STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS
TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2018
BAB
1. LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok
bagi seluruh manusia di dunia. Tetapi, tidak semua bahan pangan dapat
dikonsumsi secara langsung. Terdapat sebagian besar bahan pangan hasil
pertanian memerlukan proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.
Pengolahan bahan pangan tidak hanya ditujukan untuk menyiapkan bahan pangan
siap dikonsumsi, melainkan juga untuk pengawetan pangan (Rizka, 2016).
Seiring dengan berjalannya waktu,
kebutuhan terhadap bahan pangan juga meningkat. Oleh karena itu diperlukan
pengawetan terhadap bahan pangan sehingga daya simpan bahan pangan menjadi
lama. Pengawetan sendiri adalah suatu teknik atau tindakan yang digunakan oleh
manusia pada bahan pangan sedemikian rupa sehingga bahan tersebut tidak mudah
rusak (Eddy Suprayitno, 2017).
Pengawetan bahan pangan sendiri dapat
dilakukan dengan pengolahan bahan pangan pada suhu rendah dan tinggi,
tergantung dengan jenis bahan pangan tersebut. Secara umum, pengolahan bahan
pangan pada suhu tinggi dapat mematikan mikroorganisme pathogenic dan pembusuk
pada bahan pangan. Sedangkan, pengolahan bahan pangan pada suhu rendah dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat reaksi metabolisme bahan
pangan. Tetapi, ada pula yang sama sekali terhenti bila suhu penyimpanan berada
di bawah suhu kritis tertentu (Rizka, 2016).
Oleh karena itu pengolahan suhu tinggi
dan suhu rendah terhadap bahan pangan harus benar dan tepat supaya daya simpan
bahan pangan semakin lama.
1.2 Tujuan
Tujuan
dari praktikum pengolahan suhu tinggi dan suhu rendah adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
proses pengolahan pangan dengan menggunakan proses suhu tinggi dan suhu rendah
meliputi pasteurisasi, sterilisasi, penggorengan, penyangraian, pendinginan,
pembekuan dan enrobing.
2. Mengetahui
perubahan kualitas bahan pangan pasca pengolahan.
BAB
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Suhu Rendah
2.1.1
Macam-macam Penyimpanan Suhu Rendah
Pada penyimpanan suhu rendah bahan
pangan, terdapat dua metode penyimpanan yaitu penyimpanan dengan pendinginan
dan pembekuan (Rizka, 2016).
a.
Pendinginan
Pendinginan
umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang sederhana, pengaruhnya tidak
besar terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Umumnya pendinginan
dilakukan di dalam lemari es karena sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran
atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Tetapi, terdapat sayuran dan
buah-buahan yang tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan suhu rendah ini
berbeda-beda untuk setiap jenisnya.
Sebagai contoh, buah pisang dan tomat
tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 13 Celcius karena akan
mengalami chilling injury, yaitu
kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu
rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berwarna coklat sedangkan buah tomat teksturnya menjadi lunak
dan rusak (Elok dkk, 2017).
Pendinginan dilakukan pada suhu rendah
dimana suhunya di atas titik beku yaitu antara 2 C – 16 C. Suhu lemari es
umumnya berkisar antara 4 C – 7 C tetapi unit-unit pendinginnya biasanya
memiliki suhu yang lebih rendah tergantung pada jenis produk yang disimpan.
Pada suhu rendah, metabolisme pada buah-buahan dan sayuran berlangsung lambat
tetapi ada pula yang sama sekali terhenti bila suhu penyimpanan berada di bawah
suhu kritis tersebut. Daya tahan simpan makanan yang disimpan dengan pendinginan
berkisar antara beberapa hari sampai dengan beberapa minggu tergantung pada
jenis makanannya (Rizka, 2016).
b.
Pembekuan
Pembekuan terhadap bahan pangan bersifat
kompleks. Kristal-kristal es yang terbentuk lama-kelamaan menyusun struktur
jaringan dari kristal es dan dalam proses ini menyebabkan kebebasan bergerak
dari molekul-molekul air yang belum dalam keadaan membeku terhambat (Rizka,
2016). Proses pembekuan merupakan suatu sistem operasional unit alat pendingin
(refrigerator atau freezer) yang menciptakan
kondisi dingin atau beku pada bahan pangan di mana suhu bahan pangan dikurangi
di bawah titik beku dan bagian air mengalami perubahan untuk membentuk
kristal-kristal es.
Melalui proses pembekuan, bahan pangan
menjadi awet, karena kombinasi dari penyimpanan suhu rendah, berkurangnya Aw,
dan perlakuan bahan pangan sebelum pembekuan. Perubahan gizi dan mutu
organoleptik pada bahan pangan sedikit terjadi apabila prosedur pembekuan dan
penyimpanan dilaksanakan sesuai Standard
Operational Procedure (SOP) (Latif Sahubawa dan Ustadi, 2014).
2.1.2
Pengaruh Suhu Terhadap Penyimpanan Bahan Pangan (Freezer, Refrigerator)
Pengaruh suhu terhadap penyimpanan bahan
pangan pada freezer dan refrigerator
tidak jauh beda. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan pada kondisi suhu di
bawah -12 C belum dapat diketahui dengan pasti. Tetapi, penyimpanan bahan
pangan beku pada suhu sekitar -18 C ke bawah akan mencegah kerusakan
mikrobiologis bahan pangan, dengan syarat tidak terjadi perubahan suhu besar.
Pada berbagai kasus, meskipun jumlah
mikroba menurun selama pembekuan dan penyimpanan beku (kecuali spora mikroba),
bahan pangan beku menjadi tidak steril dan cepat membusuk seperti produk yang
tidak dibekukan. Pembekuan dan penyimpanan bahan pangan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kerusakan sel mikroba. Tetapi, tidak menutup kemungkinan
sel yang rusak tersebut mendapat kesempatan untuk menyembuhkan dirinya,
pertumbuhan yang cepat akan terjadi kembali jika lingkungan sekitarnya sangat
mendukung.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju
proses pembekuan, antara lain: (1) cara pembekuan (cepat atau lambat); (2) suhu
lingkungan beku yang digunakan; (3) sirkulasi udara (refrigerant); (4) ukuran dan bentuk pembungkus; serta (5) jenis
bahan pangan. Sedangkan pada proses pendinginan mencegah pertumbuhan mikroba
termofilik dan mesofilik. Sejumlah mikroba psikrofilik mengakibatkan kebusukan
pada bahan pangan, tetapi tidak ada jenis bakteri yang bersifat patogenik
(dapat menimbulkan penyakit). Oleh karena itu, pendinginan pada suhu di bawah
5-7 C menghambat kebusukan dan mencegah pertumbuhan mikroba patogen. Selain
itu, pendinginan juga mengurangi kecepatan perubahan enzimatik dan
mikrobiologik serta menghambat respirasi bahan pangan segar (Latif Sahubawa dan
Ustadi, 2014).
2.1.3
Mekanisme Proses Pembekuan
Mekanisme proses pembekuan terjadi
secara bertahap, diawali dari permukaan sampai pusat bahan atau sampai suhu
pembekuan yang diinginkan tercapai. Suhu saat produk yang dibekukan atau saat
awal mulai terbentuk inti kristal es dapat dikatakan sebagai titik awal
pembekuan (initial freezing point)
produk. Pada permukaan bahan, pembekuan berlangsung cepat sedangkan pada bagian
yang lebih dalam, proses pembekuan berlangsung lambat. Pada awal proses
pembekuan, terjadi fase precooling
yaitu suatu kondisi suhu bahan diturunkan dari suhu awal ke suhu titik beku.
Pada tahap ini semua kandungan air bahan berada pada keadaan cair. Setelah
tahap precooling terjadi tahap
perubahan fase, pada tahap ini mulai terjadi pembentukan kristal es (Elok
Waziiroh, 2017).
2.2 Suhu Tinggi
2.2.1
Definisi pengolahan Suhu Tinggi
Pengolahan suhu tinggi adalah pengolahan
pangan dengan suhu tinggi terhadap pangan menggunakan panas diatas normal (suhu
ruang), yang dimaksud dengan suhu ruang adalah suhu dalam keaadaan ruang
berkisar 27 – 30 C. Pengolahan pangan dengan suhu tinggi memiliki beberapa
macam proses diantaranya adalah blanching,
penggorengan, penyangraian, pasteurisasi, sterilisasi, dan lain sebagainya
(Koeswardhani, 2006).
Pada prakttikum penyimpanan suhu rendah
dan suhu tinggi, terdapat berbagai bahan yang digunakan. Yaitu adalah susu,
kubis, dan wortel.
a.
Susu
Susu adalah cairan berwarna putih
kekuningan atau putih kebiruan yang merupakan hasil sekresi kelenjar ambing
sapi laktasi tanpa ada penambahan atau pengurangan komponen dan belum mengalami
pengolahan (Purwadi dkk, 2017). Susu merupakan bahan pangan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia karena mempunyai nilai gizi yang tinggi. Komposisi yang
mudah dicerna dengan kandungan protein, vitamin dan mineral yang tinggi, menjadikan
susu sebagai sumber bahan makanan yang fleksibel dapat diatur kadar lemaknya,
sehingga dapat diatur sesuai selera konsumen.
b.
Kubis
Kubis adalah sayuran yang dimanfaatkan
daunnya untuk dikonsumsi dan memiliki nilai gizi yang tinggi. Kubis di masyarakat
lebih dikenal dengan sebutan kol. Kol atau kubis sering dikonsumsi sebagai
lalapan, gado-gado, sop, asinan dan cap cay. Dalam bahasa latin diberi nama Brassica oleraceovar. Penanaman biasanya
menggunakan biji, namun ada kol yang dibiakkan dengan tunas atau stek. Kubis
jenis ini disebut dengan kubis layur. Selain kubis putih dan kubis layur, ada
pula kubis daun. Kubis ini paling mudah menanamnya, dapat tumbuh dengan baik di
dataran rendah maupun di dataran tinggi (Mulyono, 2006).
c.
Wortel
Wortel adalah sayuran sumber serat
makanan yang tinggi, merupakan sumber antioksidan alami, kandungan karoten wortel cukup
tinggi, tetapi wortel mudah diperoleh dan harganya pun murah.
Biasanya wortel berwarna jingga atau
putih dengan tekstur serupa kayu. Tanaman yang bermanfaat bagi mata ini
berbentuk semak (perdu). Wortel mempunyai batang daun basah yang berupa
sekumpulan pelepah (tangkai daun) yang muncul. Wortel kaya akan beta – karoten.
Zat itu dalam tubuh akan diubah menjadi Vitamin A, zat gizi yang penting untuk
retina. Namun, vitamin tidak mengobati tak akan mengobati kebutaan dan hanya
dapat memperbaiki penglihatan bila masalah penglihatan tersebut tidak
disebabkan oleh kekurangan vitamin A. Selain berperan sebagai provitamin A,
beta-karoten dipercaya sebagai pelindung terhadap kanker karena ia merupakan
antioksidan.
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat
menetralkan radikal bebas, molekul tidak stabil yang dihasilkan oleh berbagai
proses kimia normal tubuh, atau oleh radiasi matahari, asap rokok dan pengaruh
dari lingkungan lainnya (Mira, 2015).
- Pasteurisasi lama (low temperature, long time). Pemanasan susu dilakukan pada temperature yang tidak begitu tinggi dengan waktu relatif lebih lama (pada temperature 62-65 C selama 30 menit hingga 1 jam).
- Pasteurisasi singkat (High temperature, short time). Pemanasan susu dilakukan pada temperature tinggi dengan waktu relatif singkat (pada temperature 85-95 C selama 1-2 menit).
- Pasteurisasi dengan Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan susu dilakukan pada temperature tinggi kemudian segara dilakukan pendinginan pada temperature 10 C (temperature minimal untuk pertumbuhan bakteri susu).
b.
Sterilisasi
Sterilisasi adalah proses pengolahan
suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh bakteri baik pathogen maupun non
pathogen. Suhu yang digunakan lebih tinggi dari suhu pasteurisasi yaitu sekitar
104-140 C, dengan waktu yang relatif lebih singkat sekitar 1-4 detik saja. Alat
yang digunakan untuk sterilisasi misalnya otoklav
(kapasitas kecil) dan retort
(kapasitas besar) (Riska, 2016).
c.
Penyangraian
Penyangraian adalah proses pengolahan
suhu tinggi dengan menggunakan udara yang dipanaskan untuk mengubah kualitas
pangan tersebut (Riska, 2016). Proses penyangraian dapat mengembangkan citra
rasa, aroma, menurunkan kadar air, mematikan mikroba, dan mengubah tekstur
pangan tersebut (Wahyudi dkk, 2008).
d.
Penggorengan
Penggorengan adalah proses untuk
mempersiapkan makanan dengan cara memanaskan dalam ketel yang berisi minyak.
Tujuan utama penggorengan adalah untuk mematangkan produk pangan sehingga dapat
dikonsumsi (Teti dkk, 2017). Penggorengan juga dapat mengubah kualitas pangan
bahan pangan dan pengawetan karena destruksi mikroorganisme dan enzim, serta
penurunan Aw. Umur simpan bahan pangan yang digoreng ditentukan oleh kadar air
setelah digoreng. Kecepatan transfer panas dipengaruhi oleh perbedaan suhu
antara minyak dan bahan pangan dan koefisien transfer panas di permukaan
(Riska, 2016).
e.
Enrobing
Enrobing
atau
coating adalah proses pelapisan bahan
pangan yang bertujuan untuk memperbaiki kenampakan, meningkatkan flavor,
meningkatkan kenyamanan, memodifikasi tekstur, meningkatkan variasi dan nilai
tambah produk dasar serta dapat juga menghalangi pergerakan air dan gas atau
melindungi bahan pangan dari kerusakan mekanis. Bahan coating dapat berupa
(Riska, 2016):
- Batter (adonan), remah roti dan bubuk
- Coklat, gula atau bahan pelapis untuk bahan pangan manis seperti permen, es krim dan baked goods.
Enrobing
atau
coating adalah teknik pelapisan
adonan yang diterapkan pada ikan, daging atau sayuran, cokelat atau pelapis
senyawa yang diaplikasikan pada biskuit, kue, kembang gula, dan lapisan garam,
gula, perasa atau pewarna juga diterapkan pada makanan ringan, makanan yang
dipanggang, dan gula-gula. Dalam setiap kasus, tujuannya adalah untuk
meningkatkan penampilan dan kualitas bahan produk pangan, dan untuk meningkatkan
variasi produk pangan.
Metode pelapis makanan untuk membungkus
rasa ada tiga metode utama makanan pelapis. Pemilihan metode yang tepat
tergantung pada jenis bahan pelapis yang akan digunakan dan efek pelapisan yang
diinginkan. Metode utamanya adalah sebagai berikut.
- Enrobing dengan coklat, pelapis senyawa, glasir atau adonan.
- Pelapisan dengan bumbu, remah roti, tepung, gula, perasa, pewarna, dan lain sebagainya.
- Lapisan panci dengan gula atau pelapis tanpa gula.
Bahan pelapis utama ada dua jenis utama
yang digunakan untuk proses Enrobing.
Yaitu adonan, remah roti dan bubuk untuk makanan yang gurih dan coklat, gula
atau pelapis senyawa untuk makanan manis seperti kembang gula, dan es krim.
Penggunaan coklat sebagai enrobing dijelaskan
secara rinci oleh Beckett (1994). Cocoa
butter pada coklat adalah lemak
polimorfik (dapat mengkristal dalam berbagai bentuk atau ‘polimorfik’).
Beberapa bentuk tidak stabil dan berubah dari satu ke yang lain jika suhu
berubah, menghasilkan ‘mekar’ putih di permukaan produk. Ada empat polimorf,
yaitu:
- μ bentuk, leleh pada 17 C
- Bentuk α, meleleh pada suhu 21-24 C (sangat tidak stabil, dibentuk oleh pendinginan cepat dari lemak cair).
- Bentuk Ø1, leleh pada 27-29 C (dari bentuk μ. Tidak stabil dan kemungkinan besar akan ada, perlahan akan berubah kembali ke bentuk μ).
- Ø bentuk, leleh pada 34-35 C (bentuk stabil, tempering yang benar harus memaksimalkan bentuk ini). Oleh karena itu perlu untuk memanaskan dan mendinginkan cokelat di bawah kondisi yang terkendali untuk memastikan bahwa hanya bentuk stabil dari mentega kakao yang ada.
Enrobers terdapat dua jenis enrober
dalam tipe ‘submerger’, makanan melewati adonan pada konveyor kawat baja tahan
karat yang ditahan di bawah permukaan oleh sabuk jala kedua. Pada tipe kedua,
makanan lewat di bawah tirai tunggal atau ganda dari lapisan cair panas
(P.Fellows, 2000).
BAB
3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1) Beaker
Glass
2) Refrigerator
3) Labu
Ukur
4) Autoklaf
3.1.2 Bahan
1)
Susu
2)
Kubis
3)
Wortel
3.2
Skema Kerja
3.2.1 Proses Pasteurisasi
3.2.2 Proses Pendinginan
BAB
4. DATA PENGAMATAN
4.1. Pengamatan Proses Pasteurisasi
Tabel 1. Pengamatan
sampel sebelum dan setelah dipasteurisasi
Sampel
|
Parameter
|
Perlakuan
|
|
Sampel Segar
|
Setelah digoreng
|
||
Susu
|
Volume
|
25 ml
|
21 ml
|
Warna
|
Putih
|
Putih
|
|
Aroma
|
Segar khas susu
|
Khas susu
|
|
Kekentalan
|
9 detik, tekstur dan viskositasnya
cair
|
3,74 detik, tekstur dan viskositasnya
kental
|
|
Rasa
|
Hambar
|
Hambar
|
|
Gambar
|
4.2
Pengamatan Proses Pendinginan
Tabel 2. Pengamatan sampel sebelum dan setelah didinginkan
Sampel
|
Parameter
|
Perlakuan
|
|
Sampel Segar
|
Setelah digoreng
|
||
Wortel
tanpa dibungkus
|
Berat
|
20,5776
gram
|
13,9515
gram
|
Warna
|
Jingga
|
Jingga
|
|
Aroma
|
Khas
wortel
|
Khas
wortel, namun sedikit hilang
|
|
Tekstur
|
Keras
|
Lunak
|
|
Rasa
|
Sedikit manis
|
-
|
|
Gambar
|
|||
Kubis
tanpa dibungkus
|
Berat
|
45,8482
gram
|
28,6371
gram
|
Warna
|
Putih
kehijauan
|
Putih
kehijauan
|
|
Aroma
|
Khas
kubis
|
Tidak
berbau
|
|
Tekstur
|
Keras
|
Lunak
|
|
Rasa
|
Sedikit manis
|
-
|
|
Gambar
|
|||
Susu
segar tanpa dibungkus
|
Volume
|
25
ml
|
18
ml
|
Warna
|
Putih
|
Putih
pudar
|
|
Aroma
|
Amis,
segar
|
Tidak
beraroma
|
|
Tekstur
|
-
|
-
|
|
Rasa
|
Hambar
|
-
|
|
Gambar
|
BAB
5. PEMBAHASAN
5.1
Fungsi Perlakuan
5.1.1 Pasteurisasi
Pada proses
pasteurisasi, langkah pertama adalah memasukkan susu ke dalam beaker glass
sebanyak 25 ml. Kemudian dilakukan pengamatan warna, aroma, kekentalan sampel
sebelum proses pasteurisasi. Setelah itu proses pasteurisasi pada sampel susu
pada suhu 88 C selama 15 detik, langkah terakhir dilakukan pengamatan kembali
terhadap warna, aroma, kekentalan, rasa sampel sesudah proses pasteurisasi.
5.1.2 Pendinginan
Pada proses
pendinginan, langkah pertama adalah penimbangan sampel susu, wortel dan kubis.
Setelah itu pengamatan berat wortel, kubis dan volume susu, kesegaran, aroma,
warna, tekstur. Kemudian penyimpanan di dalam refrigerator selama 3 hari, dan
langkah terakhir adalah pengamatan kembali berat wortel, kubis dan volume susu,
kesegaran, aroma, warna dan tekstur.
5.2
Analisis Data
5.2.1 Pasteurisasi
Pada proses
pasteurisasi terhadap sampel susu, didapati data bahwa setelah dipasteurisasi
volume sampel susu segar yang awalnya memiliki volume sebanyak 25 ml, berkurang
menjadi 21 ml. Kemudian untuk warna, warna susu setelah proses pasteurisasi
tetap putih. Aroma sampel susu tetap segar khas susu, tidak ada perubahan pada
aroma. Rasa susu tetap hambar, karena tetap murni susu, tidak ada penambahan
zat senyawa lain. Tetapi, kekentalan susu setelah dipasteurisasi tekstur dan
viskositasnya menjadi kental. Berbeda dengan sampel susu sebelum dipasteurisasi
yang tekstur dan viskositasnya cair.
Dari data yang
diperoleh, dapat diketahui bahwa data sesuai dengan teori yang ada. Dari data
tersebut diketahui bahwa kadar air sampel susu yang dipasteurisasi berkurang,
sehingga kekentalan susu meningkat dan volume susu juga meningkat. Hal ini
menyebabkan kuman dan bakteri tidak dapat berkembang, karena kadar air pada
susu menurun, dan proses pasteurisasi membunuh kuman maupun bakteri. Selain
itu, dari data tersebut juga membuktikan bahwa kualitas susu tetap terjaga.
(Rizka, 2016). Dari data tersebut, tidak ada yang berlawanan dengan teori,
karena tujuan dari pasteurisasi adalah membasmi atau menonaktifkan semua
mikroorganisme penyebab kontaminasi pada susu (Robert, 2006).
5.2.2 Pendinginan
Dari data yang
diperoleh pada sampel wortel, kubis dan susu. Didapati bahwa berat wortel,
kubis mengalami penurunan sedangkan pada susu volumenya menurun. Pada segi warna,
wortel dan kubis tidak ada perubahan, tetapi pada sampel susu warna yang semula
berwarna putih, menjadi berwarna putih pudar. Pada segi aroma, aroma wortel
sedikit hilang setelah proses pendinginan, aroma kubis setelah pendinginan
tidak berbau berbeda dengan aroma kubis sebelum pendinginan yang berbau khas
kubis. Sedangkan pada susu, yang semula beraroma segar, menjadi tidak beraroma.
Pada segi tekstur, yang mengalami perubahan adalah wortel, yang semula
teksturnya keras, menjadi lunak.
Menurut teori yang ada,
proses pendinginan umumnya adalah suatu metode pengawetan yang sederhana, pengaruhnya
tidak besar terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Tetapi, ternyata
terdapat sayuran dan buah-buahan yang tidak tahan terhadap suhu rendah dan
ketahanan suhu rendah ini berbeda-beda setiap jenisnya. Sayuran dan buah-buahan
yang tidak tahan terhadap suhu rendah akan mengalami kerusakan, yang disebut
dengan chilling injury, yaitu
kerusakan karena suhu rendah (Elok dkk, 2017). Dari data yang diperoleh, dapat
diketahui bahwa sampel wortel, kubis dan susu mengalami penurunan kualitas
pangan selama penyimpanan dengan pendinginan. Hal ini membuktikan bahwa
penyimpanan dengan pendinginan masih kurang efektif karena ketahanan bahan
pangan terhadap suhu rendah berbeda-beda. Tidak semua bahan pangan dapat
disimpan pada suhu rendah.
Selain itu, faktor
pembungkus juga mempengaruhi daya tahan bahan pangan tersebut. Karena sampel
tanpa pengemasan, maka sampel tersebut lebih mudah mengalami penurunan mutu
suatu produk pangan. Proses pengemasan yang baik, dapat mengendalikan atau
menghambat proses penurunan mutu pada suatu produk pangan sehingga produk
tersebut dapat diterima dan dikonsumsi konsumen (Yuyun dan Delli, 2011).
BAB 6. PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Dari praktikum yang
telah dilaksanakan, terdapat dua metode penyimpanan masing-masing pada suhu
tinggi dan suhu rendah. Pada suhu tinggi dilakukan proses pasteurisasi pada
susu, diketahui bahwa proses pasteurisasi dapat menjaga kualitas susu tersebut,
membunuh mikroorganisme, dan mengurangi kadar air pada susu. Sedangkan pada
proses pendinginan terhadap sampel wortel, kubis dan susu. Secara umum ketiga
sampel tersebut mengalami penurunan mutu, hal itu disebabkan karena setiap
produk pangan memiliki ketahan terhadap suhu rendah yang berbeda-beda, sehingga
terkadang terdapat produk yang mengalami chilling
injury karena tidak tahan terhadap suhu dingin. Selain itu tidak ada
pengemasan pada produk pangan, sehingga produk pangan tersebut rentan megalami
penurunan mutu kualitas pangan.
6.2
Saran
Praktikum yang telah
dilaksanakan berjalan dengan lancar, tetapi terdapat sedikit kendala yaitu alat
praktikum yang terbatas, sehingga proses praktikum sedikit lebih lama karena
harus meminjam alat praktikum dari ruangan lain. Lebih baik jika setiap ruangan
praktikum terdapat alat-alat yang dibutuhkan untuk kegiatan praktikum, sehingga
tidak perlu menunggu atau meminjam dari ruangan lain.
Daftar
Pustaka
A,
Yuyun dan Delli Gunarsa. 2011. Cerdas
Mengemas Produk Makanan dan Minuman. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka
Elok
Waziiroh, dkk. 2017. Proses Termal Pada
Pengolahan Pangan. Malang: UB PRESS.
Fauziah,
Riska Rian. 2016. Modul Praktikum
Teknologi Pengolahan Pangan Hasil Pertanian. Jember: Fakultas Teknologi
Pertanian UNEJ.
Fellows,
A. 2000. Food Processing Technology.
England: Woodhead Publishing Limited.
Koeswardhani
M, dkk. 2006. Materi Pokok Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : Buku Materi
Pokok Universitas Terbuka.
Lesmana,
Mira. 2015. Buku Pintar Pohon Wortel.
Jakarta: Lembar Langit Indonesia.
Mulyono,
S. 2006. Bercocok Tanam Kubis. Jakarta: Azka Press
Pujiyanto,
dkk. 2008. Kakao Manajemen Agribisnis
dari Hulu hingga Hilir. Jakarta: Penebar Swadaya.
Purwadi,
dkk. 2017. Penanganan Hasil Ternak.
Malang: UB PRESS.
Shubawa,
Latif dan Ustadi. 2014. Teknologi
Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Suprayitno,
Eddy. 2017. Dasar Pengawetan. Malang:
UB PRESS.
Teti
Estiasih, dkk. 2017. Umbi-umbian dan
Pengolahannya. Malang: UB PRESS.
Wolke
L, Robert. 2006. Kalo Einstein Jadi Koki
Sains di Balik Urusan Dapur. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Baca juga: Laporan Praktikum Fisiologi Teknologi
Makasih kak telah dibantu nyari dapus (Mahasiswa FTP)
ReplyDelete