Pengolahan Hilir Kakao: Laporan Praktikum
1.1 Latar Belakang
Berkembangnya
industri hilir dapat menjadi penggerak roda ekonomi termasuk juga industri
hilir komoditas kakao. Kakao merupakan komoditas ekspor dari sektor perkebunan
yang termasuk dalam komoditas unggul nasional. Namun perlu diketahui bahwa
sebagian besar diekspor dalam bentuk komoditas primer yaitu biji kakao kering
sehingga nilai harga jualnya lebih rendah (Pusdatin, 2010).
Jumlah kakao yang
dihasilkan sebanyak 535.236 ton ekspor, sedangkan sebanyak 439.305 ton atau
lebih dari 82 persen diekspor dalam bentuk biji. Selebihnya kakao diekspor
dalam bentuk pasta, butter, tepung
dan produk pangan yang mengandung coklat (Ditjenbun, 2010).
Data-data
tersebut menunjukkan bahwa pentingnya kebijakan untuk mendorong perkembangan
industry hilir kakao. Industri hilir kakao masih memiliki potensi yang besar
jika dilihat dari melimpahnya hasil dari industri hulu kakao. Berkembangnya
industri hilir kakao dapat meningkatkan nilai tambah dan nilai jual dari produk
hilir kakao sehingga produk hilir kakao dapat berkompetisi dalam pasar
internasional.
Berkembangnya
industri hilir kakao tentu saja diikuti dengan berkembangnya sumber daya
manusia dalam kemampuan mengolah produk hilir kakao. Oleh karena itu,
dibutuhkan pemahaman terhadap industri hilir kakao, serta peningkatan kualitas
sumber daya manusia sehingga dapat diperoleh produk hilir kakao dengan kualitas
tinggi serta dapat memperoleh pasar internasional.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah
sebagai berikut.
1.
Mahasiswa memahami perubahan yang terjadi selama penyangraian
2.
Mahasiswa mengetahui efisiensi pemisahan kulit biji
3.
Mahasiswa mengetahui ukuran partikel pasta hasil
pemastaan dibandingkan dengan pasta komersial.
BAB
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kakao
Kakao
merupakan tanaman dari genus Theobroma dari familia Sterculliaceae. Kakao
(Theobroma cacao L.) asalnya dari hutan tropis Amerika Tengah yaitu Guatemala, Honduras,
dan Yucatan. Pada tahun 1519 kako mulai diperkenalkan ke seluruh dunia (Siregar
et al., 2010). Taksonomi tanaman kakao dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Rahardjo, 2011).
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Dicotyledeneae
Sub
kelas : Dialypetalae
Ordo : Malvales
Famili : Sterliculiaceae
Genus : Theobroma
Species : Theobroma
cacao L.
Tanaman
kakao membutuhkan lingkungan dengan kelembapan tinggi dan yaitu diatas 80 %.
Kelembapan tinggi dapat menyeimbangkan proses evapotranspirasi tanaman dan mengompensasi curah
hujan yang rendah. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh
tingkat ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di
tempat yang jumlah curah hujannya relatif rendah namun merata sepanjang tahun (Siregar et al, 2010).
Daging buah pulpa terlindungi oleh biji kakao berwarna putih.
Ketebalan daging buah bervariasi, mulai dari yang tebal hingga yang tipis. Rasa
buah kakao cenderung asam-manis dan mengandung zat penghambat perkecambahan.
Disebelah dalam daging buah terdapat kulit biji (testa) yang membungkus dua
kotiledon dan embrio axis (Wahyudi et al., 2009).
2.2 Jenis – Jenis Kakao
Kakao
memiliki
22 jenis marga Theobroma, famili Sterculiaceae yang di usahakan secara
komersial. Berikut adalah jenis tanaman kakao yang terkenal yaitu
(Sunarti, 2012):
2.2.1 Kakao Criollo
Kakao Criollo, merupakan kakao yang berasal dari benua amerika. Biji kakao criollo
memiliki mutu yang sangat
baik dan dikenal sebagai coklat mulia, fine dan flavour cocoa, edel
coco, choiced
cocoa. Buahnya berwarna merah, dengan kulitnya tipis serta berbintil-bintil
kasar dan lunak. Biji buahnya berbentuk bulat telur dan berukuran besar dengan
kotiledon berwarna putih pada waktu basah.
2.2.2 Kakao Forastero
Kakao Forastero adalah kakao dengan biji coklat yang
mutunya sedang (bulk cocoa) atau juga sebagai ordinary cocoa (lindak cacao). Warna
Kakao Forastero
hijau dan kulitnya tebal. Biji buahnya tipis dan kotiledon berwarna ungu pada
waktu basah.
2.2.3 Kakao Trinitario
Kakao Trinitario adalah kakao campuran atau hybrida jenis
dari jenis Criollo dengan jenis Forastero dengan proses secara alami. Kakao
trinitario
menghasilkan biji yang termasuk fine flavour cocoa dan ada yang termasuk bulk
cocoa.
2.3
Komposisi Kimia Kakao
Biji
kakao mengandung berbagai komponen kimia, zat gizi, serta senyawa bioaktif.
Komposisi kimia ini bervariasi mengalami proses pengolahan
menjadi produk. Komposisi kimia biji kakao sebelum mengalami proses pengolahan
menjadi produk terdapat pada Tabel 2.1 sebagai berikut.
Tabel 2.1 Komposisi biji
kakao.
Kandungan Rata-rata (%)
|
||
Air
|
80
|
- 90
|
Albuminoid dan Astringents
|
0,5
|
- 0,7
|
Glukosa
|
8 - 13
|
|
Sukrosa
|
0,4
|
- 1,0
|
Pati
|
-
|
|
Asam non-volatil
|
0,2
|
- 0,4
|
Besi oksida
|
0,03
|
|
Garam-garam
|
0,4 - 0,45
|
|
Sumber : Haryadi
dan Supriyanto (2001).
|
Senyawa kimia biji kakao yang paling banyak adalah
flavoid. Flavonoid
merupakan unsur
antioksidan alami yang dapat menangkap logam. Struktur kimia flavonoid
terdiri dari flavonos, flavones, flavonones, isoflavones, catechin,
antocianidines dan chalcones. Fungsi flavanoid adalah melancarkan
peredaran darah ke seluruh tubuh dan mencegah terjadinya penyumbatan pada
pembuluh darah serta manfaat lainnya dalam bidang kesehatan.
Selain itu bubuk kakao yang merupakan hasil pengolahan dari
biji kakao, memiliki kandungan kimia yang berbeda dengan dengan cocoa butter dan pasta kakao. Komposisi kimia bubuk kakao (natural)
per 100 gram adalah mengandung kalori 228,49 kKal, lemak 13,5 g, karbohidrat
53,35 g, serat 27,90 g, protein 19,59 g, air 2,58 g, dan kadar abu 6,33, yang
meliputi : kalium 1495,5 mg, natrium 8,99 mg, kalsium 169,45 mg, besi 13,86 mg,
seng 7,93 mg, tembaga 4,61 mg, dan mangan 4,73 mg. Senyawa bioaktif dalam bubuk kakao adalah senyawa polifenol
yang berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan polifenol total dalam bubuk kakao
lebih tinggi dibandingkan dalam anggur maupun teh. Kelompok senyawa polifenol
yang banyak terdapat pada kakao adalah flavonoid yaitu senyawa yang mengandung
15 atom karbon terdiri dari dua
cincin benzene yang dihubungkan oleh rantai karbon (Wahyudi et al., 2008).
2.4 SNI Biji Kakao
Standar mutu
diperlukan sebagai sarana untuk pengawasan mutu. Setiap biji kakao yang akan di
ekspor harus memenuhi persyaratan tersebut dan diawasi oleh lembaga yang
ditunjuk. Standar mutu biji kakao Indonesia diatur dalam Standar Nasional
Indonesia Biji Kakao (SNI 01-2323-2008). Standar ini meliputi definisi,
klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan (labelling), berikut adalah syarat mutu biji kakao secara umum maupun
khusus:
Tabel
2.2 Penggolongan kakao.
No
|
Nama golongan
|
Berat
|
|||||||||
1
|
AA
|
Maksimum
85 biji per 100 gram
|
|||||||||
2
|
A
|
86-100 biji per 100 gram
|
|||||||||
3
|
B
|
101-110
biji per 100 gram
|
|||||||||
4
|
C
|
111-120
biji per 100 gram
|
|||||||||
5
|
S
|
>
120 biji per 100 gram
|
|||||||||
Sumber
: SNI 01-2323-2008
|
|||||||||||
Tabel
2.3 Persyaratan umum mutu biji kakao.
|
|||||||||||
No
|
Jenis uji
|
Satuan
|
Persyaratan
|
||||||||
1
|
Serangga
hidup
|
Tidak ada
|
|||||||||
2
|
Kadar
air
|
Maks
7,5%
|
|||||||||
3
|
Biji
berbau asap dan atau
|
%
fraksi massa
|
Tidak ada
|
||||||||
berbau
asing
|
|||||||||||
4
|
Kadar
benda asing
|
Tidak ada
|
|||||||||
Sumber
: SNI 01-2323-2008
|
|||||||||||
Tabel
2.4 Persyaratan khusus mutu biji kakao.
|
|||||||||||
Kakao
|
Kakao
|
Biji
|
Biji slaty
|
Biji
|
Kotoran
|
Biji
|
|||||
Mulia
|
lindak
|
berjamur
|
maksimal
|
berserangga
|
Maksimal
|
berkecambah
|
|||||
maksimal
|
(%biji/biji)
|
maksimal
|
(%biji/biji)
|
maksimal
|
|||||||
(%biji/biji)
|
(%biji/biji)
|
(%biji/biji)
|
|||||||||
I
F
|
I
B
|
2
|
3
|
1
|
1,5
|
2
|
|||||
II
F
|
II
B
|
4
|
8
|
2
|
2
|
3
|
|||||
III
F
|
III
B
|
4
|
20
|
2
|
3
|
3
|
Sumber
: SNI 01-2323-2008
2.5 Proses Pengolahan Kakao Hilir (Penyangraian, Winnowing,
Pemastaan)
2.5.1 Penyangraian
Penyangraian adalah proses yang menentukan kualitas
kakao. Penyangraian ringan dilakukan pada suhu 115 C selama 60, penyangraian
sedang dilakukan pada suhu 140 C selama 40 menit dan penyangraian berat
dilakukan pada suhu 190-200 C dengan rentan waktu 15 sampai 20 menit
(Supriyanto Marseno, 2010).
Penyangraian menyebabkan senyawa dalam biji kakao rusak,
misalnya polifenol. Polifenol berperan sebagai pembentuk
cita rasa juga berperan pada aktivitas antioksidan. Polifenol saat terpapar dengan
oksigen udara pada suhu relatif tinggi akan rusak disebabkan oksidasi
(Supriyanto dan Marseno, 2010).
Penyangraian bertujuan membentuk aroma dan cita rasa khas cokelat
dari biji kakao, serta memudahkan pengeluaran lemak dari dalam biji. Biji kakao
yang telah difermentasi dan dikeringkan dengan baik mengandung senyawa
calon pembentuk cita rasa dan aroma khas cokelat antara lain asam amino dan
gula reduksi. Selama penyangraian, kedua senyawa tersebut akan bereaksi
membentuk senyawa maillard sedangkan senyawa gula non reduksi (sukrosa) akan
terhidrolisis oleh air membentuk senyawa gula reduksi,
setelah itu mengalami reaksi maillard. Kesempurnaan penyangraian dipengaruhi
oleh panas, waktu, dan kadar air. Proses penyangraian
menyebabkan
air menguap dari biji dan kulit yang menempel di permukaan inti
biji terlepas, sementara inti biji menjadi cokelat dan beberapa senyawa seperti
asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan ester akan menguap (Ruku, 2008).
2.5.2
Pemisahan Kulit Biji
Pemisahan
kulit biji (shell) menggunakan mesin
penampi (winnowing machine). Dilakukan pemisahan kulit biji dan inti
biji kakao (nib) menggunakan winnowing
machine dengan
prinsip
yaitu memisahkan kulit dan nib berdasar densitasnya.
Teknologi yang dipergunakan saat ini adalah dengan proses alkalisasi, biasanya
menggunakan kalium karbonat (Pribadi, 2014).
Biji kakao
yang telah disangrai berbentuk rapuh
sehingga pemecahan biji dan kulit dari lembaga dimudahkan. Karena inti biji
bersifat elastis, pecahan biji mempunyai ukuran yang relatif besar dan seragam.
Sebaliknya kulit biji bersifat rapuh mempunyai tekstur yang lebih halus. Dengan perbedaan ukuran fisik yang mencolok, keduanya
mudah dipisahkan. Pecahan inti biji akan lebih berat dan tertampung dibawah,
sedangkan pecahan kulit yang halus dan ringan akan terhisap kedalam kantong
sistem penyaring udara. Komponen biji kakao yang berguna untuk bahan pangan
adalah nib. Pemisahan secara mekanis menggunakan winnowing machine biasanya
masih mengandung kulit sekitar 1,5% (Ruku, 2008).
2.5.3
Pemastaan
Pasta
cokelat atau disebut kokoa massa diproses menjadi
lemak atau bubuk kakao yang merupakan bahan baku pembuatan produk berbahan
dasar cokelat. Nib yang dihasilkan didinginkan dan dilumatkan. Proses penghalusan
dilakukan dalam dua tingkat,
pertama-tama
dengan menggunakan mesin pelumat tipe silinder atau pemasta kasar,
selanjutnya
diikuti dengan pelumatan lanjut engan silinder berputar sampai diperoleh pasta
cokelat dengan kehalusan tertentu. Saat proses pemastaan, suhu pasta
dikontrol sedemikian rupa sehingga proses berlanjut dan fase cair tidak
berlangsung (Ruku, 2008).
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada
praktikum ini adalah sebagai berikut.
1. Roaster
2. Pisau
3. Neraca Analitik
4. Tempat sampel
5. Mesin winnowing
6. Alat pemasta
7. Thickness
meter
8. Tisu
3.1.2 Bahan
Adapun
bahan yang digunakan pada praktikum ini
adalah sebagai berikut.
1. Biji Kakao
2. Biji kakao sangrai
3. Nib
4. Pasta komersial
3.2 Fungsi Perlakuan dan Skema Kerja
3.2.1 Penyangraian
Pada tahap
Penyangraian, tahap awal yang dilakukan yaitu penimbangan biji kakao sebanyak
100 g. Setelah itu, dilakukan penyangraian dengan mesin roaster pada suhu
110-115°C selama 15 menit. Penyangraian ini bertujuan untuk mengembangkan rasa, aroma,
warna, memudahkan pelepasan kulit dari biji, mengurangi kadar air dan
mengendorkan kulit sehingga dengan mudah dapat dipisahkan kulitnya dari proses
pemisahan kulit biji. Setelah dilakukan penyangraian kemudian dilakuka
pendinginan dengan tujuan untuk menstabilkan biji kakao dan air teruap secara
sempurna, serta agar kulit menjadi rapuh pada permukaan nibnya. Selanjutnya,
dilakukan penimbangan yang bertujuan untuk mengetahui berat nib setelah
dilakukan proses penyangraian. Setelah ditimbang, kemudian dilakukan pengamatan
berdasarkan parameter tekstur, warna, dan kenampakan nib yang telah dilakukan
proses penyangraian dengan nib sebelum disangrai.
3.2.2 Pemisahan Kulit
Pada tahap
pemisahan kulit ini, hal pertama yang dilakukan adalah penimbangan biji hasil
tahap 1 yaitu hasil penyangraian. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui berat
awal biji kakao dari hasil tahap 1. Setelah dilkukan penimbangan, biji tersebut
dimasukkan kedalam mesin winnowing. Pemasukkan biji kakao ke dalam mesin
winnowing adalah dengan tujuan untuk menjaga nib agar tetap dalam potongan besar (bukan berupa serpih kecil) sehingga mudah
dipisahkan dari kulit atau shell. Adanya sepotong kecil nib yang masih melekat
dengan shell akan ikut terbuang. Setelah proses
winnowing, selanjutnya dilakukan pemisahan kulit dari nib kakao secara manual,
karena pada nib tersebut masih terdapat sedikit kulit yang terikut. Selanjutnya
nib kakao yang sudah dipisahkan dari kulitnya ditimbang untuk mengetahui berat
nib yang didapat. Sedangkan kulit yang dipisahkan juga ditimbang untuk
mengetahui berat kulit yang sudah dipisahkan dari nib kakao.
3.2.3 Pemastaan
Proses awal dimulai dengan memasukkan Nib sebanyak 50g kedalam alat pemasta kakao. Proses pemastaan merupakan
proses penghancuran nib menjadi ukuran tertentu (<20 mµ) sehingga dapat
dihancurkan menjadi pasta cair kental. Penghancuran tersebut bertujuan juga
memperbesar luas permukaan kakao, sehingga pada saat perlakuan pengempaan
dengan bantuan pemanasan massa kakao akan memberikan pengaruh semakin banyaknya
kakao yang akan diekstrak. Setelah itu, pasta yang dihasilkan ditimbang dengan
tujuan untuk mengetahui berat pasta yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan
pengukuran partikel pasta dengan thickness meter pada pasta yang dihasilkan dan
juga pada pasta komersial. Selanjutnya yaitu dilakukan perbandingan antar kedua
pasta tersebut.
BAB 4. DATA PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
4.1
Data Pengamatan
4.1.1
Penyangraian
Ulangan
|
Sebelum Penyangraian
|
||||
Warna kulit
|
Aroma
|
Tekstur
|
Warna biji
|
Berat (g)
|
|
1
|
Coklat muda
|
Asam dan manis
|
Keras
|
Coklat muda
|
100,09
|
2
|
Coklat muda
|
Asam dan manis
|
Keras
|
Coklat muda
|
100,68
|
3
|
Coklat muda
|
Asam dan manis
|
Keras
|
Coklat muda
|
100
|
4
|
Coklat muda
|
Asam dan manis
|
Keras
|
Coklat muda
|
100,10
|
Ulangan
|
Sesudah Penyangraian
|
||||
Warna kulit
|
Aroma
|
Tekstur
|
Warna biji
|
Berat (g)
|
|
1
|
Coklat tua
|
Terbakar
|
Lebih rapuh
|
Coklat gelap
|
95,08
|
2
|
Coklat tua
|
Terbakar
|
Lebih rapuh
|
Coklat gelap
|
97,72
|
3
|
Coklat kehitaman
|
Terbakar
|
Lebih rapuh
|
Coklat gelap
|
102,09
|
4
|
Coklat kehitaman
|
Terbakar
|
Lebih rapuh
|
Coklat gelap
|
96,99
|
4.1.2
Winnowing
a. Sampel
Biji Kakao Ulangan 1
Fraksi
|
Berat Total (g)
|
Berat Nib (g)
|
Berat Kulit (g)
|
Fraksi 1
|
6,4
|
6,4
|
0
|
Fraksi 2
|
24,97
|
20,78
|
4,33
|
Fraksi 3
|
26,77
|
23, 87
|
2,96
|
Fraksi 4
|
6,16
|
3,44
|
2,8
|
b. Sampel
Biji Kakao Ulangan 2
Fraksi
|
Berat Total (g)
|
Berat Nib (g)
|
Berat Kulit (g)
|
Fraksi 1
|
38,64
|
37,25
|
1,66
|
Fraksi 2
|
19,99
|
16,26
|
4,03
|
Fraksi 3
|
6,63
|
5,71
|
0,92
|
Fraksi 4
|
7,72
|
1,16
|
6,72
|
c. Sampel
Biji Kakao Ulangan 3
Fraksi
|
Berat Total (g)
|
Berat Nib (g)
|
Berat Kulit (g)
|
Fraksi 1
|
35,87
|
34,07
|
1,8
|
Fraksi 2
|
24,74
|
20,89
|
3,85
|
Fraksi 3
|
27,16
|
23,78
|
3,38
|
Fraksi 4
|
7,12
|
2,11
|
5,01
|
d. Sampel
Biji Kakao Ulangan 4
Fraksi
|
Berat Total (g)
|
Berat Nib (g)
|
Berat Kulit (g)
|
Fraksi 1
|
33,14
|
32,10
|
1,04
|
Fraksi 2
|
20,74
|
17,04
|
3,66
|
Fraksi 3
|
28,18
|
24,51
|
3, 82
|
Fraksi 4
|
7,08
|
2, 82
|
4,45
|
4.1.3
Pemastaan
Ulangan
|
Berat Nib (g)
|
Berat Pasta (g)
|
Thickness (mm)
|
||
1
|
2
|
3
|
|||
1
|
50,46
|
48
|
30,1
|
28,1
|
27,1
|
2
|
50
|
46,53
|
29,2
|
30,15
|
32,15
|
3
|
50,12
|
46,75
|
43,15
|
40,15
|
44,15
|
4
|
50,55
|
49,22
|
44,15
|
43,25
|
44,15
|
4.2
Hasil Perhitungan
4.2.1
Penyangraian
Perlakuan
|
Rata – Rata Berat (gram)
|
Sebelum penyangraian
|
100,22
|
Setelah penyangraian
|
97,97
|
4.2.2
Winnowing
Ulangan
|
Fraksi 1 (%)
|
Fraksi 2 (%)
|
Fraksi 3 (%)
|
Fraksi 4 (%)
|
||||
Nib
|
Kulit
|
Nib
|
Kulit
|
Nib
|
Kulit
|
Nib
|
Kulit
|
|
1
|
100
|
0
|
83,22
|
16,78
|
89,17
|
10,83
|
55,84
|
44,16
|
2
|
96,4
|
3,6
|
81,34
|
18,66
|
86,12
|
13,88
|
15,03
|
84,97
|
3
|
94,98
|
5,02
|
84,44
|
15,56
|
87,56
|
12,44
|
29,63
|
70,37
|
4
|
96,86
|
3,14
|
82,16
|
17,84
|
86,98
|
13,02
|
39,83
|
60,17
|
Rata-rata
|
97,06
|
2,94
|
82,79
|
17,21
|
87,46
|
12,54
|
35,08
|
64,92
|
4.2.3
Pemastaan
Ulangan
|
Rendemen (%)
|
Rata – Rata Ukuran Partikel Pasta Kakao (mm)
|
1
|
95,12
|
28,43
|
2
|
93,06
|
30,5
|
3
|
93,28
|
42,48
|
4
|
97,37
|
43,85
|
Rata-rata
|
94,78
|
36,32
|
DAFTAR PUSTAKA
[BPS]
Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat , 2011. Pedoman
Pendataan Survei Sosial Ekonomi
Nasional Tahun 2011. Jakarta Pusat. Badan Pusat Statistik.
[BSN]
Badan Standarisasi Nasional.2008. Standar
Nasional Indonesia (SNI). SNI 01-2323-2008.
Biji Kakao. Jakarta. Dewan Standarisasi Indonesia.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2010. Statistik Perkebunan 2009 – 2011: Kakao.
Direktorat Jendral Perkebunan, Kementerian Perindustrian, Jakarta.
Haryadi, M. dan Supriyanto. 2001. Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan.
Yogyakarta: Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi UGM.
Manalu, Lamhot P., M. Yusuf
Djafar, tri Yoga Wibawa, dan Himawan Adinegoro. 2017. Proses Pintas Pengolahan Kakao Skala UKM Studi Kasus di Luwu Sulawesi Selatan. Majalah Ilmiah
Pengkajian Industri 11 (1): 51-60.
Mulato, W. 2005. Petunjuk Teknis Produk Primer dan Sekunder
Kakao. Jember :
Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Othman, A., A. Ismail, N.A. Ghani and I. Adenan. 2007. Antioxidant capacity and phenolic content of cocoa beans. Food
Chemistry 100 : 1523-1530.
Pribadi, E. M. 2014.
Evaluasi Dan Pemetaan Pemanfaatan
Teknologi Pada Industri kakao. Infomatek,
16(2), 125-134.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2010. Outlook Komoditas Pertanian: Perkebunan.
Pusat data dan Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Rahardjo, P. 2011. Menghasilkan
Benih Dan Bibit Kakao Unggul.
Penebar Swadaya Grup.
Rizza,
RA; Liang, V., Mc. Mohan, M. and Harrison, G. 2000. Encyclopedia of Foods : A
Guide to Healthy Nutrition. London. Academic Press.
Ruku,
S. 2008. Teknologi Pengolahan Biji Kakao
Kering Menjadi Produk Olahan Setengah
Jadi. Buletin Teknologi dan Informasi, Sulawesi Tenggara, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Supriyanto,
S., & Marseno, D. W. Penyangraian
Hancuran Nib Kakao dengan Enerji
Gelombang Mikro untuk Menghasilkan Cokelat Bubuk. Agritech, 30(4).
Siregar, T. H S., Slamet., dan Laeli N., 2010. Budidaya Cokelat. Jakarta: Penebar
swadaya.
Surti,
K. 2012. Pemanfaatan Marka Molekuler
Untuk Mendukung Perakitan Kultivar
Unggul Kakao (Theobroma Cacao L.). Program Studi Agronomi. Institut Pertanian Bogor.
Susanti,
Carolina Maria.
2013. Pengaruh Jumlah Pelarut Etanol dan Suhu Fraksinasi Terhadap Karakteristik
Lemak Kakao Hasil Ekstraksi Non Alkalized Cocoa Powder. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Wahyudi,
T., Pangabean, T. R., & Pujianto, P. 2008. Panduan Lengkap Kakao Manajemen
Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta, 364.
0 Response to "Pengolahan Hilir Kakao: Laporan Praktikum"
Post a Comment