Teknologi Pengolahan Mie : Laporan Praktikum
Mie, sumber : pixabay.com |
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kecenderungan dan pola hidup masyarakat
modern yang menuntut makanan siap saji menjadikan mie sebagai salah satu pangan
pengganti nasi. Hal ini tentu sangat menguntungkan ditinjau dari sudut
penganekaragaman bahan pangan. Dengan menganekaragamkan konsumsi bahan pangan,
kita dapat terhindar dari ketergantungan pada suatu bahan pangan terpopuler
saat ini, yaitu beras (Astawan, 2004).
Menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI), mie merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan,
berbentuk khas mie. Mie menjadi makanan yang populer dikalangan masyarakat khususnya
kalangan mahasiswa karena rasanya yang enak dan praktis. Mie mempunyai banyak
keunggulan terutama dalam hal rasa, yang memiliki berbagai macam pilihan,
tekstur dan kenampakan yang menarik, harga terjangkau, praktis dalam
pengolahannya, serta memiliki kandungan gizi yang cukup baik Sehingga mampu
membuat masyarakat banyak beralih pada mie sebagai pengganti nasi untuk konsumsi
setiap harinya (Ritantiyah, 2010). Bahan yang digunakan untuk membuat mie
adalah tepung terigu. Namun, indonesia tidak dapat memproduksi gandum sendiri
sebagai tepung terigu, karena iklim di indonesia yang tidak mendukung atau
tidak cocok.
Tingginya angka konsumsi akan
kebutuhan mie menyebabkan meningkatnya jumlah kebutuhan impor gandum sebagai
bahan utama dalam pembuatan tepung terigu yang merupakan baku baku yang penting
dalam pembuatan mie. Sebagai alternatifnya dapat digunakan beberapa tepung komposit
yaitu proporsi antara tepung terigu dengan tepung mocaf. Tepung mocaf (Modified Cassava Flour) dari bahan baku
singkong dapat digunakan sebagai alternatif pengganti ketergantungan terhadap
tepung terigu. MOCAF dapat mensubstitusi tepung terigu hingga tingkat subtitusi
15% pada produk mie bermutu tinggi dan hingga 25% untuk mie bermutu rendah.
Tepung terigu maupun MOCAF memiliki
karakteristik yang berbeda jika dibandingkan, oleh sebab itu perlu dilakukan
perubahan karakteristik tepung jika diolah menjadi mie. Dengan adanya kandungan
amilosa dan amilopektin pada tepung komposit (terigu dan MOCAF) diharapkan
dapat menghasilkan sifat fisik mie yang sesuai standar. Perbedaan jenis tepung
sebagai bahan substitusi yang digunakan dalam pembuatan mie diduga menyebabkan
perbedaan kualitas fisik mie. Oleh karena itu tujuan praktikum ini adalah untuk
mengetahui pengaruh penggunaan jenis tepung komposit (terigu dan MOCAF) sebagai
bahan substitusi dalam pembuatan mie basah.
1.1
Tujuan
Adapun tujuan
dilakukannya praktikum ini, yaitu :
1. Menganalisis
pengaruh jenis dan proporsi tepung serta pengaruh bahan pengenyal dalam
pembuatan mie.
2. Mengetahui cara membuat mie dengan berbagai
jenis tepung.
BAB 2. TINJAUAN
PUSTAKA
1.1
Pengertian Mie
Mie merupakan produk pasta yang pertama kali ditemukan oleh
bangsa China yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan (Puspasari,
2007). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie merupakan produk pangan yang
terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan
tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie. Saat ini mie telah
digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti nasi. Hal ini tentu sangat
menguntungkan ditinjau dari sudut penganekaragaman bahan pangan. Dengan
menganekaragamkan konsumsi bahan pangan, kita dapat terhindar dari
ketergantungan pada suatu bahan pangan terpopuler saat ini, yaitu beras
(Astawan, 2004).
Mie dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok. Pembagian jenis mie yang paling umum yaitu berdasarkan
warna, ukuran diameter mie, bahan baku, cara pembuatan, jenis produk yang
dipasarkan, dan kadar air. Berdasarkan warnanya, mie yang ada di Asia dibagi
menjadi dua jenis, yaitu mie putih dan mie kuning karena penambahan alkali
(Pagani, 1985). Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu mie dengan bahan baku dari tepung terutama tepung terigu dan mie
transparan dengan bahan baku dari pati misalnya soun dan bihun. Berdasarkan
cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah dan mie basah matang,
sedangkan berdasarkan jenis produk yang tersedia di pasar terdapat dua jenis
mie yaitu mie basah (contohnya mie ayam dan mie kuning) dan mie kering
contohnya mie telur dan mie instan (Pagani, 1985). Komposisi dasar dari produk
mie kering dan mie basah pada umumnya hampir sama. Perbedaan dari kedua produk
ini ialah kadar air dan tahapan proses pembuatan.
Berdasarkan
kadar air dan tahap pengolahannya, Winarno dan Rahayu (1994) membagi mie yang
terbuat dari gandum menjadi lima golongan, yaitu : (1) mie basah mentah yang
dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%,
(2) mie basah matang, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan
dalam air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering, yaitu
mie basah mentah yang langsung dikering dengan kadar air 10%, (4) mie goreng,
yaitu mie mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum dipasarkan, dan (5) mie
instan, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami pengukusan dan pengeringan
sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng.
1.2
Fungsi Bahan Pembuatan Mie
Proses
pembuatan mie memerlukan berbagai bahan tambahan yang masing-masing bertujuan
untuk menambah volume, memperbaiki mutu ataupun citrasa serta warna.
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie basah antara lain:
2.2.1
Tepung terigu
Tepung
terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan
karbohidrat. Keistimewaan terigu diantara serealia lainnya adalah kemampuannya
membentuk gluten pada adonan mie yang akan menyebabkan mie yang dihasilkan
tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Tepung terigu diperoleh
dari tepung gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu yang digunakan sebaiknya mengandung
gluten 8-12%. Gluten adalah protein yang terdapat pada terigu. Gluten bersifat
elastis sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mie yang
dihasilkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
2.2.2
Modified Cassava Flour (Mocaf)
Modified
Cassava Flour (Mocaf) merupakan produk turunan dari
tepung ubi kayu yang menggunakan prinsip modifikasi sel ubi kayu secara
fermentasi dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama
fermentasi tepung ubi kayu ini (Subagio, 2007). Mikroba yang tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik dari
tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya
rehidrasi, dan kemudahan melarut.
2.2.3
Sodium Tripolyphosphate (STTP)
Sodium
tripolyphosphate (STTP) merupakan senyawa polifosfat dari
natrium. STPP berbentuk bubuk atau granula berwarna putih dan tidak berbau.
STPP dapat pula bereaksi dengan pati. Ikatan antara pati dengan fosfat diester
atau ikatan silang antar gugus hidroksil (OH), akan menyebabkan ikatan pati
menjadi kuat, tahan terhadap pemanasan, dan asam sehingga dapat menurunkan
derajat pembengkakan granula, dan meningkatkan stabilitas adonan. Menurut FDA (Food
and Drug Administration) penggunaan alkali fosfat adalah 0,5 % pada produk.
Penggunaan melebihi dosis 0,5% akan menurunkan penampilan produk, yaitu terlalu
kenyal seperti karet dan terasa pahit.
Penggunan
STPP pada mie basah berperan pada proses gelatinisasi pati-protein sehingga
mempengaruhi tekstur mie menjadi lebih liat dan kenyal. Selain itu STPP dapat
mengikat air sehingga menurunkan aktivitas air (Aw) akibatnya kerusakan
mikrobiologis dapat dicegah (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
2.2.4 Garam Q
Garam alkali memiliki
peranan yang sangat dalam pembuatan mie.
Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na2CO3),
kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat (KH2PO4). Garam
alkali ini dapat ditambahkan masing-masing atau kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing bahan alkali
tersebut berbeda-beda. Natrium
karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie. Kalium
karbonat berfungsi untuk
meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan
fleksibilitas mie (Puspasari, 2007).
Menurut (Suyanti, 2010)
fungsi penambahan garam alkali pada pembuatan mie adalah menguatkan struktur
gluten sehingga menjadi mie yang lentur, mengubah sifat mie pati tepung terigu
sehingga mie menjadi lebih kenyal dan mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam
terigu sehingga lebih cerah. Semakin besar garam alkali yang digunakan, mie
semakin keras dan kenyal. Namun penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau
yang tidak sedap pada mie yang dihasilkan Batas maksimum garam alkali yang
ditambahkan pada pembuatan mie adalah 1% dari total pemakaian tepung terigu
yang digunakan.
2.2.5 Telur
Penambahan telur
dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang
lebih liat sehingga tidak mudah putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah
kekeruhan mie pada proses pemasakan. Kuning telur digunakan sebagai pengemulsi,
lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan
mengembangkan adonan (Astawan, 1999).
2.2.6 Air
Air
berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat, melarutkan
garam dan membentuk sifat kenyal. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya
air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 – 9, hal ini diserap,
mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang
baik. Penambahan air yang terlalu sedikit akan membuat adonan sulit dicetak.
Sedangkan penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan adonan mie
lengket. Air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan air minum,
yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2006). Air juga
digunakan untuk merebus mie mentah dalam pembuatan mie basah. Pada proses
perebusan akan terjadi glatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dapat
meningkatkan kekenyalan mie (Ratnawati, 2003).
2.3
Cara Pembuatan Mie
Proses pembuatan mie dilakukan pencampuran semua bahan menjadi satu
dimaksudkan untuk membuat adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga
dapat memicu terjadinya hidrasi air dengan tepung yang merata dan menarik
serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. Pada proses
pencampuran, pembentukan gluten sudah mulai terjadi meskipun belum maksimal.
Waktu yang diperlukan dalam proses pencampuran dan pengadukan bahan yang
dibutuhkan ± 20 menit (Mudjajanto dan Yulianti, 2004). Adonan yang sudah kalis,
dimasukkan ke dalam mesin pembuat mie untuk mendapatkan lembaran-lembaran dan
menghaluskan serat-serat gluten. Pembentukan lembaran-lembaran ini diulang
beberapa kali untuk mendapatkan lembaran yang tipis. Lembaran yang tipis
selanjutnya masuk ke dalam mesin pencetak mie (Slitter) yang berguna untuk mengubah lembaran mie menjadi untaian
mie yang bergelombang. Diakhir proses ini, lembaran adonan yang tipis dipotong
memanjang 1-2 mm dengan alat pemotong mie dan selanjutnya dipotong melintang
dengan panjang tertentu. Selanjutnya, dilakukan perebusan agar terjadi
gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga menyebabkan dehidrasi protein
gluten yang mempengaruhi kekenyalan mie. Hal ini disebabkan karena terputusnya
ikatan hidrogen sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat.
Sebelum perebusan, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah proses
perebusan ikatan bersifat keras dan kuat (Astawan, 2006). Setelah
perebusan, dilakukan penirisan mie.
2.4
Reaksi Yang Terjadi
Pada proses pembuatan
mie terajadi reaksi yang menyebabkan perubahan
karakteristik mie yang dihasilkan. Berikut ini merupakan reaksi yang terjadi
selama proses pengolahan mie:
karakteristik mie yang dihasilkan. Berikut ini merupakan reaksi yang terjadi
selama proses pengolahan mie:
1.
Gelatinisasi
Pada pembuatan mi, proses gelatinisasi
terjadi selama perebusan. Proses gelatinisasi dimulai dengan terjadinya hidrasi
yaitu masuknya molekul air ke dalam molekul granula pati. Granula pati memiliki
sifat tidak larut dalam air dingin tetapi membentuk sistem dispersi dan akan
menjadi gel ketika dipanaskan. Diameter pati granula umumnya berkisar antara
3-100 μm (Haryadi, 1984). Meningkatnya suhu suspensi pati maka ikatan hidrogen dalam pati dan
air akan menurun kemudian molekul air yang relatif kecil akan menembus lapisan
granula luar dan granula ini akan menggelembung (terjadi pada suhu 60- 85oC)
bahkan hingga lima kali lipat volume semula. Ukuran granula pati membesar,
campuran menjadi kental. Pada suhu sekitar 85oC, granula pati terpecah dan
isinya terdispersi merata kesekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai
terurai dan campuran air dan pati menjadi kental membentuk sol. Pada
pendinginan, jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati membentuk
jaringan dan molekul air terkurung didalamnya sehingga terbentuk gel.
2.
Denaturasi
Protein
Dalam pembuatan mi, selama perebusan
terjadi denaturasi protein. Denaturasi protein merupakan perubahan struktur
sekunder, tersier dan kuartener dari molekul protein tanpa terjadinya pemecahan
ikatan kovalen. Denaturasi disebabkan oleh pengaruh panas, pH dan mekanis. Protein yang
terdenaturasi akan mengalami menurunkan aktivitas biologinya dan berkurang
kelarutannya, sehingga mudah mengendap (Yazid, 2006).
3.
Pencoklatan
(Browning)
Dalam pembuatan mie, reaksi pencoklatan
terjadi pada tahap perebusan. Pencoklatan yang terjadi pada pembuatan mi basah
adalah reaksi Maillard. Reaksi ini terjadi antara karbohidrat, khususnya gula
pereduksi dengan gugus amina primer. Pada pembuatan mi, reaksi maillard
disebabkan adanya senyawa gula (glukosa) dengan asam amino pada bahan pembuatan
mi, sehingga menimbulkan warna cokelat pada mie yang dihasilkan (Aminin dkk, 2003).
BAB
3. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1
Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada pembuatan mie sebagai berikut:
1.
Baskom
2.
Ekstruder
3.
Sendok
4.
Kompor
5.
Panci
6.
Pisau
7.
Spatula
8.
Peniris
9.
Neraca
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada pembuatan mie sebagai berikut:
1.
Tepung terigu
protein tinggi merk Cakra
2.
Tepung mocaf
3.
Garam cap
kapal
4.
Telur
5.
Soda kue
6.
STTP
7.
Air hangat
8.
Minyak goreng
9.
Tissue
10.
Kuisioner
11.
Label
3.2
Prosedur Pembuatan
3.2.1 Skema Kerja
Skema Kerja pembuatan Mie |
3.2.2 Fungsi
Perlakuan
Mie merupakan produk makanan yang dibuat dari
tepung gandum atau tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan
lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, bentuk khas mie dan siap
dihidangkan setelah dimasak. Pembuatan mie meliputi tahap-tahap pencampuran, pengistirahatan,
pembentukan lembaran dan pemotongan atau pencetakan. Pada praktikum ini
menggunakan perlakuan penambahan dengan mocaf.
Pada praktikum ini dilakukan
4 perlakuan yang berbeda yaitu penambahan 0% tepung mocaf (ulangan 1),
Penambahan 15% tepung mocaf (ulangan 2), Penambahan 30% tepung mocaf (ulangan
3), dan penambahan 45% tepung mocaf (ulangan 4). Proses pembuatan mie, terlebih
dahulu dilakukan penimbangan bahan. Kemudian dilakukan pencampuran bahan yang
meliputi tepung terigu, STTP, soda kue dan garam menjadi satu ke dalam wadah baskom dan diaduk
sampai rata. Setelah itu, dilakukan penambahan air hangat 25 ml dan 3 sendok
telur dan dilakukan pengadukan kembali menggunakan tangan. Selanjutnya adonan
dimasukkan kedalam mesin ekstruder, selama adonan berada dalam mesin ekstruder
dilakukan penambahan air sedikit demi sedikit sebanyak 30 ml sampai adonan
menjadi homogen atau kalis. Selain itu, proses ini juga dapat memicu terjadinya
hidrasi air dengan tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga
menjadi adonan yang elastis dan halus. Pada proses pencampuran, pembentukan
gluten sudah mulai terjadi meskipun belum maksimal. Setelah adonan dalam mesin
ekstruder sudah kalis maka akan terbentuk untaian mie yang panjang. Untaian mie
yang terbentuk selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat awal
mie. Selanjutnya, dilakukan perebusan selama 6 menit agar terjadi gelatinisasi
pati dan koagulasi gluten sehingga menyebabkan dehidrasi protein gluten yang
mempengaruhi kekenyalan mie. Hal ini disebabkan karena terputusnya ikatan
hidrogen sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat. Sebelum
perebusan, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah proses perebusan
ikatan bersifat keras dan kuat (Astawan, 2006). Setelah perebusan, dilakukan
penirisan mie. Selanjutnya dilakukan penimbangan kembali untuk mengetahui berat
akhir dari mie yang telah direbus.
BAB 4. HASIL
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Hasil
Pengamatan Mie
Perlakuan
|
Warna
(Color Reader)
|
Tekstur (g/ 19,9mm)
(Rheotex)
|
Berat Mie
|
|||||
Ulangan 1
|
Ulangan 2
|
Ulangan 3
|
Ulangan 1
|
Ulangan 2
|
Ulangan 3
|
Sebelum dimasak
(g)
|
Sesudah dimasak
(g)
|
|
0%
|
43,2
|
42,2
|
40,2
|
0,51
|
0,50
|
0,9
|
170,96
|
291,62
|
15%
|
47,7
|
44,6
|
46,6
|
0,39
|
0,37
|
0,38
|
175,68
|
346,34
|
30%
|
47,6
|
45,8
|
46,3
|
0,33
|
0,31
|
0,37
|
150,50
|
279,86
|
45%
|
44,6
|
45,9
|
45,6
|
0,33
|
0,36
|
0,37
|
151,39
|
281,82
|
4.1.2 Hasil Pengamatan Uji Organoleptik
Panelis
|
Warna
|
Aroma
|
Tekstur
|
Rasa
|
||||||||||||
649
|
327
|
815
|
413
|
649
|
327
|
815
|
413
|
649
|
327
|
815
|
413
|
649
|
327
|
815
|
413
|
|
1
|
2
|
2
|
4
|
4
|
5
|
4
|
4
|
4
|
5
|
3
|
4
|
2
|
3
|
4
|
4
|
2
|
2
|
6
|
5
|
3
|
4
|
5
|
3
|
4
|
2
|
6
|
4
|
3
|
7
|
5
|
6
|
4
|
7
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
5
|
3
|
2
|
2
|
5
|
5
|
3
|
2
|
4
|
2
|
2
|
1
|
4
|
4
|
5
|
4
|
5
|
5
|
5
|
4
|
4
|
3
|
4
|
4
|
2
|
4
|
5
|
4
|
5
|
5
|
7
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5
|
4
|
4
|
5
|
5
|
6
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
6
|
4
|
4
|
4
|
4
|
5
|
5
|
5
|
4
|
3
|
6
|
6
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
7
|
5
|
6
|
4
|
3
|
4
|
6
|
6
|
3
|
3
|
3
|
4
|
3
|
4
|
4
|
4
|
3
|
8
|
6
|
5
|
5
|
5
|
6
|
4
|
5
|
5
|
4
|
4
|
3
|
4
|
4
|
4
|
3
|
3
|
9
|
4
|
3
|
3
|
2
|
3
|
3
|
2
|
3
|
4
|
3
|
2
|
3
|
4
|
3
|
3
|
3
|
10
|
5
|
3
|
3
|
7
|
5
|
6
|
5
|
5
|
5
|
6
|
5
|
5
|
3
|
5
|
2
|
2
|
11
|
7
|
4
|
6
|
3
|
4
|
5
|
2
|
2
|
6
|
6
|
5
|
2
|
5
|
6
|
2
|
5
|
12
|
6
|
6
|
6
|
5
|
4
|
5
|
3
|
4
|
4
|
5
|
6
|
3
|
5
|
5
|
3
|
3
|
13
|
6
|
5
|
6
|
5
|
4
|
4
|
5
|
4
|
3
|
5
|
6
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
14
|
5
|
5
|
3
|
5
|
4
|
6
|
3
|
4
|
4
|
6
|
5
|
4
|
3
|
6
|
5
|
5
|
15
|
5
|
6
|
3
|
3
|
3
|
4
|
4
|
3
|
3
|
5
|
6
|
5
|
4
|
5
|
5
|
4
|
16
|
6
|
4
|
5
|
2
|
3
|
3
|
2
|
3
|
3
|
2
|
3
|
1
|
4
|
3
|
5
|
5
|
17
|
7
|
4
|
7
|
2
|
3
|
4
|
4
|
3
|
2
|
6
|
6
|
5
|
3
|
3
|
6
|
6
|
18
|
5
|
2
|
6
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
5
|
4
|
6
|
3
|
4
|
4
|
5
|
2
|
19
|
5
|
4
|
6
|
3
|
3
|
2
|
2
|
4
|
5
|
4
|
5
|
2
|
4
|
4
|
4
|
4
|
20
|
5
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
4
|
5
|
21
|
2
|
6
|
4
|
4
|
6
|
4
|
5
|
4
|
5
|
4
|
3
|
3
|
6
|
4
|
5
|
4
|
22
|
3
|
4
|
4
|
3
|
3
|
5
|
4
|
3
|
2
|
6
|
4
|
3
|
3
|
4
|
4
|
3
|
23
|
6
|
2
|
2
|
4
|
4
|
2
|
2
|
4
|
6
|
5
|
2
|
6
|
6
|
2
|
1
|
4
|
24
|
4
|
4
|
3
|
4
|
4
|
3
|
3
|
3
|
4
|
4
|
3
|
3
|
4
|
3
|
3
|
4
|
25
|
6
|
6
|
4
|
3
|
3
|
3
|
4
|
3
|
3
|
6
|
4
|
6
|
3
|
5
|
4
|
4
|
26
|
6
|
5
|
3
|
5
|
6
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
5
|
3
|
5
|
6
|
5
|
3
|
27
|
5
|
5
|
5
|
4
|
3
|
3
|
3
|
3
|
6
|
5
|
5
|
5
|
3
|
3
|
3
|
3
|
28
|
5
|
5
|
5
|
6
|
3
|
3
|
3
|
3
|
4
|
3
|
4
|
2
|
4
|
3
|
3
|
3
|
29
|
6
|
3
|
4
|
3
|
5
|
4
|
3
|
3
|
4
|
5
|
5
|
3
|
6
|
6
|
3
|
3
|
30
|
3
|
5
|
6
|
4
|
4
|
4
|
3
|
3
|
4
|
3
|
5
|
4
|
4
|
4
|
3
|
3
|
Ket: 649=0% ; 327=15% ; 815=30% ; 413=45%
4.2 Hasil
Perhitungan
4.2.1 Hasil
Perhitungan Mie
Perlakuan
|
Cooking Loss (%)
|
Rata – rata Warna
|
Rata – Rata Tekstur (g/mm)
|
0%
|
70,5779
|
56,79
|
0,0251
|
15%
|
99,0286
|
67,51
|
0,0191
|
30%
|
99,1405
|
67,92
|
0,017
|
45%
|
99,138
|
66,15
|
0,0177
|
4.2.2 Hasil
Perhitungan Organoleptik
Perlakuan
|
Warna
|
Aroma
|
Tekstur
|
Rasa
|
0%
|
5
|
4,3
|
4,23
|
4,2
|
15%
|
4,4
|
4,1
|
4,63
|
4,17
|
30%
|
4,4
|
3,77
|
4,37
|
3,77
|
45%
|
4
|
3,53
|
3,8
|
3,87
|
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1
Warna
Pada praktikum kali ini dilakukan analisis uji fisik warna pada produk abon
telur. Warna memegang peranan penting terhadap karakteristik bahan maupun
produk pangan. Warna menjadi salah satu perameter mutu suatu produk pangan dan
juga bahan bakunya. Warna dapat ditentukan dengan instrument maupun uji sensoris.
Instrumen yang umumnya digunakan ialah coloreader. Prinsip kerja color reader adalah sistem pemaparan
warna dengan menggunakan sistem CIE dengan tiga reseptor warna yaitu L, a, b
Hunter. Lambang L menunjukkan tingkat kecerahan berdasarkan warna putih,
lambang a menunjukkan kemerahan atau kehijauan, dan lambang b menunjukkan
kekuningan atau kebiruan (McGuire,
1992 dalam Hasbullah et al., 2017).
Didapatkan
hasil yang tidak terlalu signifikan pada tiga sampel. Pada sampel 0% substitusi
mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 56,79; pada sampel 15% substitusi
mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 67,51; pada sampel 30% substitusi
mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 67,92; dan pada sampel 45%
substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 66,15. Dari seluruh
sampel tersebut, nilai L tertinggi didapatkan pada sampel dengan 30% substitusi
mocaf. Menurut Salim (2011) perlakuan fermentasi pada proses pembuatan tepung
mocaf menyebabkan warna tepung mocaf lebih putih dari tepung terigu karena
dalam proses fermentasi terjadi penghilangan komponen penimbul warna seperti
pigmen. Sehingga seharusnya campuran terigu dan mocaf menghasilkan warna yang
cerah. Namun, pada hasil uji rheotex pada sampel dengan substitusi mocaf 45%
memiliki nilai yang lebih rendah daripada sampel dengan substitusi mocaf 30%.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa produk yang dibuat menyimpang dari literatur,
hal ini dapat dikarenakan pencampuran bahan yang tidak merata sehingga
mempengaruhi warna produk.
5.2
Tekstur
Pengamatan
tekstur dilakukan dengan menggunakan rheotex. Pengamatan tekstur dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali pada titik berbeda dan didapatkan nilai akhir
setelah dirata-ratakan. Rheotex memiliki prinsip tingkat kekerasan produk yang
dinyatakan dalam satuan gram/mm yang berarti besarnya gaya tekan yang
diperlukan untuk deformasi produk hingga kedalaman tertentu. Sehingga semakin
tinggi nilai yang tertera pada rheotex menunjukkan semakin keras produk, begitu
pula sebaliknya.
Didapatkan hasil yang tidak terlalu
signifikan pada tiga sampel. Pada sampel 0% substitusi mocaf didapatkan
rata-rata nilai sebesar 0,0251g/mm; pada sampel 15% substitusi mocaf didapatkan
rata-rata nilai sebesar 0,0191g/mm; pada sampel 30% substitusi mocaf didapatkan
rata-rata nilai sebesar 0,017g/mm; dan pada sampel 45% substitusi mocaf
didapatkan rata-rata nilai sebesar 0,0177g/mm. Dari seluruh sampel tersebut, nilai
rheotex tertinggi didapatkan pada sampel dengan 0% substitusi mocaf. Menurut
Arsyad (2016) penggunaan mocaf yang berlebih menghasilkan tekstur produk lebih
lunak, sedangkan penggunaan terigu yang berlebih menghasilkan tekstur produk
yang lebih keras. Hasil tersebut telah sesuai dengan literatur yaitu sampel
dengan tidak menggunakan mocaf memiliki nilai yang paling tinggi dibanding
ketiga sampel lainnya yang menggunakan substitusi mocaf.
5.3
Cooking loss
Cooking loss
merupakan salah satu parameter yang
menunjukkan banyaknya bahan dari mie mentah yang hilang selama proses
perebusan. Menurut Wang et al (1999) tingkat
cooking loss tergantung pada tingkat gelatinisasi dan kekuatan struktur gel
dari mie. Tingkat gelatinisasi dipengaruhi oleh penetrasi panas dan air ke
dalam granula (Srichuwong, 2006) sedangkan kekuatan
struktur gel dipengaruhi oleh pembentukan ikatan hidrogen antar pati ketika
terjadi retrogradasi (Charutigon et al, 2007).
Cooking
loss terjadi karena pecahnya granula pati yang membengkak dan kemudian molekul
pati linier rantai pendek akan keluar dari granula yang kemudian masuk ke dalam
air rebusan sehingga menyebabkan air rebusan menjadi keruh. Penyebab lain cooking loss yaitu lemahnya daya ikat
komponen adonan sehingga ada komponen yang larut pada saat perebusan.
Keberadaan gluten menurun menyebabkan kemampuan untuk membentuk jaringan tiga
dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi granula pati berkurang (Widiatmoko
dan Estiasih, 2014).
didapatkan
hasil yang tidak terlalu signifikan pada tiga sampel yang dilakukan penambahan
tepung mocaf. Pada sampel 0% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar
70,5779%; pada sampel 15% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar 99,0286%;
pada sampel 30% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar 99,1405%; dan pada
sampel 45% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar 99,138%. Dari seluruh
sampel tersebut, nilai cooking loss
terendah didapatkan pada sampel dengan 0% substitusi mocaf.
Menurut Koswara (2005),
setelah pembentukan mie dilakukan proses pengukusan karena pada proses ini
terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya
dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mie. Hal ini
disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati
dan gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan
fleksibel tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat.
Dengan adanya gluten yang
terkandung pada terigu mampu menghasilkan sifat kenyal dan gaya gelasi tinggi
dibandingkan mocaf yang tidak memiliki gluten, tingkat cooking loss tergantung pada tingkat gelatinisasi dan kekuatan
struktur gel dari mie. Tingkat gelatinisasi dipengaruhi oleh
granula-granula pati yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul
amilosa yang terdispersi dalam air.sedangkan kekuatan struktur gel dipengaruhi oleh
pembentukan ikatan hidrogen antar pati ketika terjadi retrogradasi (Charutigon
et al, 2007).
Cooking
loss merupakan salah satu parameter mutu yang penting karena berkaitan
dengan kualitas mie setelah dimasak. Semakin rendahnya nilai cooking loss maka mutu mie semakin
bagus. Rendahnya nilai cooking loss pada
mie yang dihasilkan diiduga akibat selama pemasakan padatan yang hilang
disebabkan oleh terlepasnya amilosa pada untaian mie ke dalam air perebus mie
relatif sedikit. Rendahnya nilai cooking
loss pada mie juga menunjukkan matriks pati tergelatinisasi telah optimum
bertindak sebagai matriks pengikat sehingga menghasilkan mie yang memiliki
tekstur yang kompak sehingga menurunkan jumlah padatan yang hilang selama
pemasakan Indrianti dkk (2013).
5.4 Uji Organoleptik
Menurut Agusman (2013), penilaian dengan indera disebut juga penilaian
organoleptik atau penilaian sensorik. Penilaian dengan indera ini banyak
digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian
cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung.
Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat
penilaian dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian
organoleptik telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan.
Uji organoleptik pada produk pangan berguna untuk memberikan informasi
mengenai kualitas dan karakteristik dari suatu produk pangan dan merupakan
salah satu faktor utama untuk meningkatkan daya terima dan kepuasan konsumen.
a.
Warna
Pada
penilaian mutu komoditi, cara yang terutama masih dipakai ialah dengan
penglihatan. Dengan melihat, orang dapat mengenal dan menilai bentuk, ukuran,
kekeruhan, kesegaran produk, warna, dan sifat-sifat permukaan seperti suram,
mengilap, homogeny-heterogen, dan datar gelombang. Meskipun warna paling cepat dan
mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit cara
pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subyektif dengan penglihatan
masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Zuhrina, 2011).
Berdasarkan
gambar 5, dapat diketahui bahwa uji organoleptik warna yang paling banyak
disukai oleh panelis yaitu pada penambahan tepung mocaf 15% dan 35% dengan
nilai rata-rata sebesar 4,4. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penyimpangan atau
ketidaksesuaian terhadap literatur. Seperti yang telah dijelaskan
bahwa Mocaf memiliki kandungan pati yang banyak dan terdiri atas gula-gula.
Adanya Mocaf inilah yang menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan yaitu reaksi
Maillard. Semakin banyak mocaf yang ditambahkan maka semakin coklat warna mie
yang dihasilkan (Arsyad, 2016).
Penyimpangan ini terjadi karena panelis yang digunakan adalah panelis tidak
terlatih sehingga panelis kesulitan untuk membedakan tingkat kecerahan warna
pada mie yang disajikan.
b.
Aroma
Pembauan
juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya
makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya atau aromanya dari
jarak jauh. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma dari suatu produk atau
komoditi baik berupa makanan maupun nonpangan. Kepekaan pembauan lebih tinggi
daripada pencicipan. Zat yang diperlukan untuk dapat merangsang indera pembau
jumlahnya lebih rendah daripada zat yang diperlukan untuk perangsang indera
pencicip. Dalam banyak hal, enaknya makanan ditentukan oleh aromanya. Industri
pangan menganggap sangat penting uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan
hasil penilaian produksinya, disukai atau tidak disukai (Agusman, 2013).
Berdasarkan
gambar 5, dapat diketahui bahwa uji organoleptik aroma yang paling banyak
disukai oleh panelis yaitu pada penambahan tepung mocaf 0% dengan nilai
rata-rata sebesar 4,3. Panelis lebih menyukai aroma dari mie perlakuan tepung
terigu atau tanpa penambahan tepung mocaf karena panelis lebih terbiasa
mengkonsumsi mie dengan bahan baku dari tepung terigu. Sedangkan Penambahan mocaf dapat menghasilkan aroma
yang khas namun tidak menimbulkan aroma singkong pada umumnya sehingga panelis yang kurang familair dengan aroma mocaf
sehingga merasa asing pada aroma tersebut sehingga cenderung tidak menyukainya..
c.
Tekstur
Tekstur
produk merupakan parameter penting untuk berbagai jenis produk. Tekstur merupakan salah
faktor yang menentukan mutu produk makanan. Mie merupakan produk pangan semi basah yang memiliki
sifat kenyal.
Pada pembuatan mie, dilakukan perebusan
sehingga terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten
sehingga menyebabkan dehidrasi protein gluten yang mempengaruhi kekenyalan mie.
Hal ini disebabkan karena terputusnya ikatan hidrogen sehingga rantai ikatan
kompleks pati-gluten lebih rapat. Sebelum perebusan, ikatan bersifat lunak dan
fleksibel, tetapi setelah proses perebusan ikatan bersifat keras dan kuat penyaringan saat
menggoreng supaya terbentuk serabut-serabut. Terbentuknya tekstur kenyal juga dikarenakan
karakteristik tepung yang digunakan. Hal ini diungkapkan pula oleh Adhadinia (2009) yang menyatakan bahwa
tekstur merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penilaian, karena tekstur
suatu makanan akan terasa saat konsumen memakannya.
Berdasarkan gambar 5,
dapat diketahui bahwa uji organoleptik tekstur yang paling banyak disukai oleh
panelis yaitu pada panambahan tepung mocaf 15%. Tekstur
mie basah yang disukai adalah mie basah yang kenyal. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa substitusi mocaf dengan tepung terigu berpengaruh nyata
terhadap nilai rerata tekstur mie basah yang dihasilkan. Tekstur pada mie
dipengaruhi oleh dua hal yaitu kandungan protein gluten dan amilosa. Gluten
berpengaruh pada pembentukan tekstur kenyal pada mie basah karena matriks
gluten dapat membuat ikatan antar granula pati lebih rapat sehingga gel pati
lebih kuat dan tahan terhadap tarikan (Safriani, et al. 2013). Kandungan
amilosa dalam tepung mocaf dalam penelitian ini yaitu 20,557%
(Hersoelistyorini, et al. 2015). Diduga semakin banyak penggunaan tepung mocaf
akan meningkatkan kandungan amilosa pada tepung campuran. Amilosa dari mocaf
yang mengakibatkan terjadinya proses retrogradasi pati. Retrogradasi merupakan
proses terbentuknya ikatan antara amilosa- amilosa yang telah terdispersi ke
dalam air (Kurniawati, 2006). Amilosa ini juga berperan saat proses
gelatinisasi dan dapat mengkokohkan kekuatan gel karena daya tahan molekul di
dalam granula pati meningkat (Satin, 2001).
d.
Rasa
Rasa
merupakan tanggapan indera pengecap terhadap rangsangan
saraf, seperti manis, pahit, masam dan asin. Rasa merupakan faktor kedua yang diperhatikan oleh
konsumen setelah warna. Menurut Sigit (2017)
rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi
dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Rasa sangat dipengaruhi oleh
bumbu atau rempah yang ditambahkan pada makanan. Bumbu yang ditambahkan akan
memberikan cita rasa yang khas pada makanan sesuai dengan asal dari bahan
tersebut. Masing-masing jenis bahan yang digunakan memiliki bau khas sehingga
pada saat dikonsumsi akan menggambarkan jenis bumbu yang digunakan.
Berdasarkan
gambar 5, dapat diketahui bahwa uji organoleptik rasa yang paling banyak
disukai oleh panelis yaitu pada penambahan tepung mocaf 0% atau tanpa subtitusi
tepung mocaf. Panelis lebih menyukai mie dengan bahan baku tepung terigu lebih
disukai oleh panelis karena pada dasarnya panelis lebih terbiasa dengan mie
yang berbahan dasar dari tepung terigu. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan Mocaf sebagai subtitusi tepung Terigu dapat memberikan konstribusi
positif pada rasa mie yang dihasilkan. Penambahan
tepung mocaf mampu menghasilkan cita rasa manis akibat kandungan pati dari
bahan baku utamanya yaitu singkong yang kaya dengan karbohidrat sebagai sumber
pati. Menurut (Salim,2011) bahwa kadar pati
(starch content) pada mocaf kurang lebih 87,3% sedangkan pada terigu berkisar
antara 60-68%. mie yang ada memiliki rasa khas terigu namun dengan
adanya subtitusi mocaf rasa mie yang dihasilkan sedikit berbeda dan kurang
diterima oleh panelis.
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini,
sebagai berikut :
1.
Semakin banyak
subtitusi tepung mocaf pada pembuatan mie, semakin tinggi tingkat kecerahan
warna yang dihasilkan.
2.
Semakin banyak
subtitusi tepung mocaf pada pembuatan mie, tekstur yang dihasilkan semakin
lunak dan mudah patah.
3.
Mie tanpa
subtitusi tepung mocaf memiliki nilai cooking
loss yang rendah maka mutu mie
semakin bagus sehingga menghasilkan mie yang lebih kompak.
4.
Secara
keseluruhan dari hasil uji organoleptik dari kriteria warna, aroma, tektur dan
rasa, panelis lebih menyukai mie tanpa subtitusi tepung mocaf.
6.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya, dalam proses
pengujian organoleptik, panelis lebih meningkatkan kemampuan dalam menilai
suatu produk agar data yang dihasilkan sesuai dengan literatur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Agusman. 2013. Pengujian Organoleptik. Modul Penanganan Mutu Fisis (Organoleptik).
Semarang. Program Studi Teknologi Pangan : Universitas Muhammadiyah Semarang.
Aminin, A.L.N., Ambarsari, L, Mochtar, H.M. 2003.
Produk Reaksi Maillard (MRP) Sebagai Antibakteri dan Pengendali Kadar Dektran
dalam Nira Tebu. Jurnal Kimia Sains dan
Aplikasi. Vol 3, No.4 hal. 3-5.
Arsyad, M. 2016. Pengaruh Penambahan Tepung Mocaf
Terhadap Kualitas Produk Biskuit. Jurnal Agropolitan Vol.3 (3).
Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.
Astawan, M. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Jakarta: Tiga Serangkai.
Astawan, M. 2006. Membuat Mie dan Bihun. Bogor : Penebar Swadaya.
Badan Standarisasi Nasional. 2015. SNI 2987:2015 Syarat Mutu Mie Basah. Jakarta: Badan
Standarisasi Nasional.
Charutigon C, Jintana J,
Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects Of
Processing Conditions And The Use Of Modified Starch And Monoglyseride On Some
Properties Of Extruded Rice Vermicelli. Swiss Society of Food Science and
Technology, LWT 41 (2008) 642-651
Hasbullah, U.H.A., F. Nurdyansyah, B. Supriyadi, R. Umiyati, dan R.M.D.
Ujianti. 2017. Sifat Fisik Dan Kimia Tepung UmbiSuweg (Amorphophallus
campamulatus BI) di Jawa Tengah. Jurnal Pangan dan Gizi 7(1).
Indrianti, N., Kumalasari, R., Ekafitri, R., dan
Darmajana, D. A. 2013. Pengaruh
Penggunaan Pati Ganyong, Tapioka, dan Mocaf Sebagai Bahan Substitusi Terhadap
SIfat Fisik Mie Jagung Instan. Agritech Vol.33 (4).
Koswara, Sutrisno. 2005. Teknologi Pengolahan Mie. EBookPangan.com
Mudjajanto E.S dan L.N Yulianti. 2004. Membuat Aneka Roti. Jakarta : Penebar Swadaya.
Pagani, M.A. 1985. Pasta product from non
conventional raw material. P:52-68. Proceeding
of An International Symposium. Italy : Milan.
Puspasari. 2007. Aplikasi Teknologi dan Bahan
Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian
Bogor.
Ratnawati, I. 2003. Pengayakan Kandungan β-karoten
Mie Ubi Kayu dengan Tepung labu Kuning (Curcubita maxima Dutchenes). Skripsi S-1, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Ritantiyah, L. 2010. Laporan Magang di
PT.Tiga Sejahtera Food,Tbk Sragen Indonesia (Quality Control Mie Instan). Surakarta: Fakultas Pertanian,
Program Diploma III Teknologi Hasil Pertanian.
Salim, Emil. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf Bisnis Produk Alternatif
Pengganti Terigu. Yogyakarta: Lily Publisher.
Sigit, M., Mubarak Akbar, dan Lisa Fianti.
2017. Kualitas Organoleptik Abon Ayam Yang Diberi Perlakuan Substitusi Kacang Tanah
(Arachis hypogaea L.). Jurnal Fillia Cendekia, Volume 2 Nomor 1 Maret 2017.
Srichuwong, S. 2006. Starches From Different Plant Origins : From Structure To
Physicochemical Properties. Japan : Mie University. [dissertation]
Subagio, A. 2007. Industrialisasi Modified
Cassava Flour (MOCAF) sebagai Bahan Baku Industri Pangan untuk Menunjang
Diversifikasi Pangan Pokok Nasional. Jember : Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Jember.
Suyanti, 2010. Membuat
Mie Sehat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Widiatmoko, R. B., dan Estiasih, T. 2014.
Karakteristik Fisikokimia dan Organoleptik Mie Kering Berbasis Tepung Ubi Jalar
Ungu Pada Berbagai Tingkat Penambahan Gluten. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.3 (4).
Widyaningsih, T., B,
danE., S., Murtini, 2006. Alternatif
Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agrisarana.
Yazid, Estien. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia. Yogyakarta : ANDI
Zuhrina. “Pengaruh Penambahan Tepung
Kulit Pisang Raja (Musa Paradisiaca) Terhadap Daya Terima Kue Donat”. Skirpsi. Medan: Universitas Sumatra
Utara. 2011.
Baca Juga : Teknologi Pengolahan Roti : Laporan Praktikum
Baca Juga : Teknologi Pengolahan Roti : Laporan Praktikum
0 Response to "Teknologi Pengolahan Mie : Laporan Praktikum"
Post a Comment