Teknologi Pengolahan Mie : Laporan Praktikum

Mie, sumber : pixabay.com


BAB 1. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kecenderungan dan pola hidup masyarakat modern yang menuntut makanan siap saji menjadikan mie sebagai salah satu pangan pengganti nasi. Hal ini tentu sangat menguntungkan ditinjau dari sudut penganekaragaman bahan pangan. Dengan menganekaragamkan konsumsi bahan pangan, kita dapat terhindar dari ketergantungan pada suatu bahan pangan terpopuler saat ini, yaitu beras (Astawan, 2004).
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie. Mie menjadi makanan yang populer dikalangan masyarakat khususnya kalangan mahasiswa karena rasanya yang enak dan praktis. Mie mempunyai banyak keunggulan terutama dalam hal rasa, yang memiliki berbagai macam pilihan, tekstur dan kenampakan yang menarik, harga terjangkau, praktis dalam pengolahannya, serta memiliki kandungan gizi yang cukup baik Sehingga mampu membuat masyarakat banyak beralih pada mie sebagai pengganti nasi untuk konsumsi setiap harinya (Ritantiyah, 2010). Bahan yang digunakan untuk membuat mie adalah tepung terigu. Namun, indonesia tidak dapat memproduksi gandum sendiri sebagai tepung terigu, karena iklim di indonesia yang tidak mendukung atau tidak cocok.
Tingginya angka konsumsi akan kebutuhan mie menyebabkan meningkatnya jumlah kebutuhan impor gandum sebagai bahan utama dalam pembuatan tepung terigu yang merupakan baku baku yang penting dalam pembuatan mie. Sebagai alternatifnya dapat digunakan beberapa tepung komposit yaitu proporsi antara tepung terigu dengan tepung mocaf. Tepung mocaf (Modified Cassava Flour) dari bahan baku singkong dapat digunakan sebagai alternatif pengganti ketergantungan terhadap tepung terigu. MOCAF dapat mensubstitusi tepung terigu hingga tingkat subtitusi 15% pada produk mie bermutu tinggi dan hingga 25% untuk mie bermutu rendah.
Tepung terigu maupun MOCAF memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan, oleh sebab itu perlu dilakukan perubahan karakteristik tepung jika diolah menjadi mie. Dengan adanya kandungan amilosa dan amilopektin pada tepung komposit (terigu dan MOCAF) diharapkan dapat menghasilkan sifat fisik mie yang sesuai standar. Perbedaan jenis tepung sebagai bahan substitusi yang digunakan dalam pembuatan mie diduga menyebabkan perbedaan kualitas fisik mie. Oleh karena itu tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan jenis tepung komposit (terigu dan MOCAF) sebagai bahan substitusi dalam pembuatan mie basah.
1.1  Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini, yaitu :
1. Menganalisis pengaruh jenis dan proporsi tepung serta pengaruh bahan pengenyal dalam pembuatan mie.
2.  Mengetahui cara membuat mie dengan berbagai jenis tepung.



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
1.1    Pengertian Mie
Mie merupakan produk pasta yang pertama kali ditemukan oleh bangsa China yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan (Puspasari, 2007). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie merupakan produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie. Saat ini mie telah digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti nasi. Hal ini tentu sangat menguntungkan ditinjau dari sudut penganekaragaman bahan pangan. Dengan menganekaragamkan konsumsi bahan pangan, kita dapat terhindar dari ketergantungan pada suatu bahan pangan terpopuler saat ini, yaitu beras (Astawan, 2004).
Mie dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pembagian jenis mie yang paling umum yaitu berdasarkan warna, ukuran diameter mie, bahan baku, cara pembuatan, jenis produk yang dipasarkan, dan kadar air. Berdasarkan warnanya, mie yang ada di Asia dibagi menjadi dua jenis, yaitu mie putih dan mie kuning karena penambahan alkali (Pagani, 1985). Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu mie dengan bahan baku dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan dengan bahan baku dari pati misalnya soun dan bihun. Berdasarkan cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah mentah dan mie basah matang, sedangkan berdasarkan jenis produk yang tersedia di pasar terdapat dua jenis mie yaitu mie basah (contohnya mie ayam dan mie kuning) dan mie kering contohnya mie telur dan mie instan (Pagani, 1985). Komposisi dasar dari produk mie kering dan mie basah pada umumnya hampir sama. Perbedaan dari kedua produk ini ialah kadar air dan tahapan proses pembuatan.
Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, Winarno dan Rahayu (1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima golongan, yaitu : (1) mie basah mentah yang dibuat langsung dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah matang, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan dalam air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering, yaitu mie basah mentah yang langsung dikering dengan kadar air 10%, (4) mie goreng, yaitu mie mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum dipasarkan, dan (5) mie instan, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami pengukusan dan pengeringan sehingga menjadi mie instan kering atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng.
1.2    Fungsi Bahan Pembuatan Mie
Proses pembuatan mie memerlukan berbagai bahan tambahan yang masing-masing bertujuan untuk menambah volume, memperbaiki mutu ataupun citrasa serta warna. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie basah antara lain:
2.2.1 Tepung terigu
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Keistimewaan terigu diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada adonan mie yang akan menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan. Tepung terigu diperoleh dari tepung gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu yang digunakan sebaiknya mengandung gluten 8-12%. Gluten adalah protein yang terdapat pada terigu. Gluten bersifat elastis sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mie yang dihasilkan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
2.2.2 Modified Cassava Flour (Mocaf)
Modified Cassava Flour (Mocaf) merupakan produk turunan dari tepung ubi kayu yang menggunakan prinsip modifikasi sel ubi kayu secara fermentasi dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung ubi kayu ini (Subagio, 2007). Mikroba yang tumbuh  menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan  melarut.
2.2.3 Sodium Tripolyphosphate (STTP)
Sodium tripolyphosphate (STTP) merupakan senyawa polifosfat dari natrium. STPP berbentuk bubuk atau granula berwarna putih dan tidak berbau. STPP dapat pula bereaksi dengan pati. Ikatan antara pati dengan fosfat diester atau ikatan silang antar gugus hidroksil (OH), akan menyebabkan ikatan pati menjadi kuat, tahan terhadap pemanasan, dan asam sehingga dapat menurunkan derajat pembengkakan granula, dan meningkatkan stabilitas adonan. Menurut FDA (Food and Drug Administration) penggunaan alkali fosfat adalah 0,5 % pada produk. Penggunaan melebihi dosis 0,5% akan menurunkan penampilan produk, yaitu terlalu kenyal seperti karet dan terasa pahit.
Penggunan STPP pada mie basah berperan pada proses gelatinisasi pati-protein sehingga mempengaruhi tekstur mie menjadi lebih liat dan kenyal. Selain itu STPP dapat mengikat air sehingga menurunkan aktivitas air (Aw) akibatnya kerusakan mikrobiologis dapat dicegah (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
2.2.4 Garam Q
Garam alkali memiliki peranan yang sangat dalam pembuatan mie. Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat (KH2PO4). Garam alkali ini dapat ditambahkan masing-masing atau kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing bahan alkali tersebut berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie. Kalium karbonat berfungsi untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie (Puspasari, 2007).
Menurut (Suyanti, 2010) fungsi penambahan garam alkali pada pembuatan mie adalah menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mie yang lentur, mengubah sifat mie pati tepung terigu sehingga mie menjadi lebih kenyal dan mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam terigu sehingga lebih cerah. Semakin besar garam alkali yang digunakan, mie semakin keras dan kenyal. Namun penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap pada mie yang dihasilkan Batas maksimum garam alkali yang ditambahkan pada pembuatan mie adalah 1% dari total pemakaian tepung terigu yang digunakan.
2.2.5 Telur
Penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah kekeruhan mie pada proses pemasakan. Kuning telur digunakan sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan mengembangkan adonan (Astawan, 1999).
2.2.6    Air
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat, melarutkan garam dan membentuk sifat kenyal. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki pH antara 6 – 9, hal ini diserap, mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik. Penambahan air yang terlalu sedikit akan membuat adonan sulit dicetak. Sedangkan penambahan air yang terlalu banyak akan menyebabkan adonan mie lengket. Air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan air minum, yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa (Astawan, 2006). Air juga digunakan untuk merebus mie mentah dalam pembuatan mie basah. Pada proses perebusan akan terjadi glatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dapat meningkatkan kekenyalan mie (Ratnawati, 2003).
2.3    Cara Pembuatan Mie
Proses pembuatan mie dilakukan pencampuran semua bahan menjadi satu dimaksudkan untuk membuat adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga dapat memicu terjadinya hidrasi air dengan tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. Pada proses pencampuran, pembentukan gluten sudah mulai terjadi meskipun belum maksimal. Waktu yang diperlukan dalam proses pencampuran dan pengadukan bahan yang dibutuhkan ± 20 menit (Mudjajanto dan Yulianti, 2004). Adonan yang sudah kalis, dimasukkan ke dalam mesin pembuat mie untuk mendapatkan lembaran-lembaran dan menghaluskan serat-serat gluten. Pembentukan lembaran-lembaran ini diulang beberapa kali untuk mendapatkan lembaran yang tipis. Lembaran yang tipis selanjutnya masuk ke dalam mesin pencetak mie (Slitter) yang berguna untuk mengubah lembaran mie menjadi untaian mie yang bergelombang. Diakhir proses ini, lembaran adonan yang tipis dipotong memanjang 1-2 mm dengan alat pemotong mie dan selanjutnya dipotong melintang dengan panjang tertentu. Selanjutnya, dilakukan perebusan agar terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga menyebabkan dehidrasi protein gluten yang mempengaruhi kekenyalan mie. Hal ini disebabkan karena terputusnya ikatan hidrogen sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat. Sebelum perebusan, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah proses perebusan ikatan bersifat keras dan kuat (Astawan, 2006). Setelah perebusan,  dilakukan penirisan mie.
2.4    Reaksi Yang Terjadi
Pada proses pembuatan mie terajadi reaksi yang menyebabkan perubahan
karakteristik mie yang dihasilkan. Berikut ini merupakan reaksi yang terjadi
selama proses pengolahan mie:
1.      Gelatinisasi
Pada pembuatan mi, proses gelatinisasi terjadi selama perebusan. Proses gelatinisasi dimulai dengan terjadinya hidrasi yaitu masuknya molekul air ke dalam molekul granula pati. Granula pati memiliki sifat tidak larut dalam air dingin tetapi membentuk sistem dispersi dan akan menjadi gel ketika dipanaskan. Diameter pati granula umumnya berkisar antara 3-100 μm (Haryadi, 1984). Meningkatnya suhu suspensi pati maka ikatan hidrogen dalam pati dan air akan menurun kemudian molekul air yang relatif kecil akan menembus lapisan granula luar dan granula ini akan menggelembung (terjadi pada suhu 60- 85oC) bahkan hingga lima kali lipat volume semula. Ukuran granula pati membesar, campuran menjadi kental. Pada suhu sekitar 85oC, granula pati terpecah dan isinya terdispersi merata kesekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai terurai dan campuran air dan pati menjadi kental membentuk sol. Pada pendinginan, jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati membentuk jaringan dan molekul air terkurung didalamnya sehingga terbentuk gel.
2.      Denaturasi Protein
Dalam pembuatan mi, selama perebusan terjadi denaturasi protein. Denaturasi protein merupakan perubahan struktur sekunder, tersier dan kuartener dari molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen. Denaturasi disebabkan oleh pengaruh panas, pH dan mekanis. Protein yang terdenaturasi akan mengalami menurunkan aktivitas biologinya dan berkurang kelarutannya, sehingga mudah mengendap (Yazid, 2006).
3.      Pencoklatan (Browning)
Dalam pembuatan mie, reaksi pencoklatan terjadi pada tahap perebusan. Pencoklatan yang terjadi pada pembuatan mi basah adalah reaksi Maillard. Reaksi ini terjadi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Pada pembuatan mi, reaksi maillard disebabkan adanya senyawa gula (glukosa) dengan asam amino pada bahan pembuatan mi, sehingga menimbulkan warna cokelat pada mie yang dihasilkan (Aminin dkk, 2003).

BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM


3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada pembuatan mie sebagai berikut:
1.    Baskom
2.    Ekstruder
3.    Sendok
4.    Kompor
5.    Panci
6.    Pisau
7.    Spatula
8.    Peniris
9.    Neraca
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada pembuatan mie  sebagai berikut:
1.        Tepung terigu protein tinggi merk Cakra
2.        Tepung mocaf
3.        Garam cap kapal
4.        Telur
5.        Soda kue
6.        STTP
7.        Air hangat
8.        Minyak goreng
9.        Tissue
10.    Kuisioner
11.    Label

3.2 Prosedur Pembuatan
3.2.1 Skema Kerja

Skema Kerja pembuatan Mie

3.2.2 Fungsi Perlakuan
Mie merupakan produk makanan yang dibuat dari tepung gandum atau tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, bentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak. Pembuatan mie meliputi tahap-tahap pencampuran, pengistirahatan, pembentukan lembaran dan pemotongan atau pencetakan. Pada praktikum ini menggunakan perlakuan penambahan dengan mocaf.
 Pada praktikum ini dilakukan 4 perlakuan yang berbeda yaitu penambahan 0% tepung mocaf (ulangan 1), Penambahan 15% tepung mocaf (ulangan 2), Penambahan 30% tepung mocaf (ulangan 3), dan penambahan 45% tepung mocaf (ulangan 4). Proses pembuatan mie, terlebih dahulu dilakukan penimbangan bahan. Kemudian dilakukan pencampuran bahan yang meliputi tepung terigu, STTP, soda kue dan garam  menjadi satu ke dalam wadah baskom dan diaduk sampai rata. Setelah itu, dilakukan penambahan air hangat 25 ml dan 3 sendok telur dan dilakukan pengadukan kembali menggunakan tangan. Selanjutnya adonan dimasukkan kedalam mesin ekstruder, selama adonan berada dalam mesin ekstruder dilakukan penambahan air sedikit demi sedikit sebanyak 30 ml sampai adonan menjadi homogen atau kalis. Selain itu, proses ini juga dapat memicu terjadinya hidrasi air dengan tepung yang merata dan menarik serat-serat gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. Pada proses pencampuran, pembentukan gluten sudah mulai terjadi meskipun belum maksimal. Setelah adonan dalam mesin ekstruder sudah kalis maka akan terbentuk untaian mie yang panjang. Untaian mie yang terbentuk selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat awal mie. Selanjutnya, dilakukan perebusan selama 6 menit agar terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga menyebabkan dehidrasi protein gluten yang mempengaruhi kekenyalan mie. Hal ini disebabkan karena terputusnya ikatan hidrogen sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat. Sebelum perebusan, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah proses perebusan ikatan bersifat keras dan kuat (Astawan, 2006). Setelah perebusan, dilakukan penirisan mie. Selanjutnya dilakukan penimbangan kembali untuk mengetahui berat akhir dari mie yang telah direbus. 

BAB 4. HASIL
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Hasil Pengamatan Mie


Perlakuan
Warna
(Color Reader)
Tekstur (g/ 19,9mm)
(Rheotex)
Berat Mie
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Sebelum dimasak
(g)
Sesudah dimasak
(g)
0%
43,2
42,2
40,2
0,51
0,50
0,9
170,96
291,62
15%
47,7
44,6
46,6
0,39
0,37
0,38
175,68
346,34
30%
47,6
45,8
46,3
0,33
0,31
0,37
150,50
279,86
45%
44,6
45,9
45,6
0,33
0,36
0,37
151,39
281,82

4.1.2 Hasil Pengamatan Uji Organoleptik
Panelis
Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
649
327
815
413
649
327
815
413
649
327
815
413
649
327
815
413
1
2
2
4
4
5
4
4
4
5
3
4
2
3
4
4
2
2
6
5
3
4
5
3
4
2
6
4
3
7
5
6
4
7
3
4
4
4
4
5
3
2
2
5
5
3
2
4
2
2
1
4
4
5
4
5
5
5
4
4
3
4
4
2
4
5
4
5
5
7
6
6
6
6
5
4
4
5
5
6
5
5
5
5
5
6
4
4
4
4
5
5
5
4
3
6
6
3
3
3
3
3
7
5
6
4
3
4
6
6
3
3
3
4
3
4
4
4
3
8
6
5
5
5
6
4
5
5
4
4
3
4
4
4
3
3
9
4
3
3
2
3
3
2
3
4
3
2
3
4
3
3
3
10
5
3
3
7
5
6
5
5
5
6
5
5
3
5
2
2
11
7
4
6
3
4
5
2
2
6
6
5
2
5
6
2
5
12
6
6
6
5
4
5
3
4
4
5
6
3
5
5
3
3
13
6
5
6
5
4
4
5
4
3
5
6
5
5
5
5
5
14
5
5
3
5
4
6
3
4
4
6
5
4
3
6
5
5
15
5
6
3
3
3
4
4
3
3
5
6
5
4
5
5
4
16
6
4
5
2
3
3
2
3
3
2
3
1
4
3
5
5
17
7
4
7
2
3
4
4
3
2
6
6
5
3
3
6
6
18
5
2
6
4
4
4
4
4
5
4
6
3
4
4
5
2
19
5
4
6
3
3
2
2
4
5
4
5
2
4
4
4
4
20
5
4
4
4
4
4
5
5
5
5
5
5
5
5
4
5
21
2
6
4
4
6
4
5
4
5
4
3
3
6
4
5
4
22
3
4
4
3
3
5
4
3
2
6
4
3
3
4
4
3
23
6
2
2
4
4
2
2
4
6
5
2
6
6
2
1
4
24
4
4
3
4
4
3
3
3
4
4
3
3
4
3
3
4
25
6
6
4
3
3
3
4
3
3
6
4
6
3
5
4
4
26
6
5
3
5
6
5
5
5
5
5
5
3
5
6
5
3
27
5
5
5
4
3
3
3
3
6
5
5
5
3
3
3
3
28
5
5
5
6
3
3
3
3
4
3
4
2
4
3
3
3
29
6
3
4
3
5
4
3
3
4
5
5
3
6
6
3
3
30
3
5
6
4
4
4
3
3
4
3
5
4
4
4
3
3
Ket: 649=0% ; 327=15% ; 815=30% ; 413=45%

4.2 Hasil Perhitungan
4.2.1 Hasil Perhitungan Mie
Perlakuan
Cooking Loss (%)
Rata – rata Warna
Rata – Rata Tekstur (g/mm)
0%
70,5779
56,79
0,0251
15%
99,0286
67,51
0,0191
30%
99,1405
67,92
0,017
45%
99,138
66,15
0,0177
4.2.2 Hasil Perhitungan Organoleptik
Perlakuan
Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
0%
5
4,3
4,23
4,2
15%
4,4
4,1
4,63
4,17
30%
4,4
3,77
4,37
3,77
45%
4
3,53
3,8
3,87

BAB 5. PEMBAHASAN
5.1  Warna
Pada praktikum kali ini dilakukan analisis uji fisik warna pada produk abon telur. Warna memegang peranan penting terhadap karakteristik bahan maupun produk pangan. Warna menjadi salah satu perameter mutu suatu produk pangan dan juga bahan bakunya. Warna dapat ditentukan dengan instrument maupun uji sensoris. Instrumen yang umumnya digunakan ialah coloreader. Prinsip kerja color reader adalah sistem pemaparan warna dengan menggunakan sistem CIE dengan tiga reseptor warna yaitu L, a, b Hunter. Lambang L menunjukkan tingkat kecerahan berdasarkan warna putih, lambang a menunjukkan kemerahan atau kehijauan, dan lambang b menunjukkan kekuningan atau kebiruan (McGuire, 1992 dalam Hasbullah et al., 2017).
Didapatkan hasil yang tidak terlalu signifikan pada tiga sampel. Pada sampel 0% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 56,79; pada sampel 15% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 67,51; pada sampel 30% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 67,92; dan pada sampel 45% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai L sebesar 66,15. Dari seluruh sampel tersebut, nilai L tertinggi didapatkan pada sampel dengan 30% substitusi mocaf. Menurut Salim (2011) perlakuan fermentasi pada proses pembuatan tepung mocaf menyebabkan warna tepung mocaf lebih putih dari tepung terigu karena dalam proses fermentasi terjadi penghilangan komponen penimbul warna seperti pigmen. Sehingga seharusnya campuran terigu dan mocaf menghasilkan warna yang cerah. Namun, pada hasil uji rheotex pada sampel dengan substitusi mocaf 45% memiliki nilai yang lebih rendah daripada sampel dengan substitusi mocaf 30%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa produk yang dibuat menyimpang dari literatur, hal ini dapat dikarenakan pencampuran bahan yang tidak merata sehingga mempengaruhi warna produk.
5.2  Tekstur
Pengamatan tekstur dilakukan dengan menggunakan rheotex. Pengamatan tekstur dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali pada titik berbeda dan didapatkan nilai akhir setelah dirata-ratakan. Rheotex memiliki prinsip tingkat kekerasan produk yang dinyatakan dalam satuan gram/mm yang berarti besarnya gaya tekan yang diperlukan untuk deformasi produk hingga kedalaman tertentu. Sehingga semakin tinggi nilai yang tertera pada rheotex menunjukkan semakin keras produk, begitu pula sebaliknya.
Didapatkan hasil yang tidak terlalu signifikan pada tiga sampel. Pada sampel 0% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai sebesar 0,0251g/mm; pada sampel 15% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai sebesar 0,0191g/mm; pada sampel 30% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai sebesar 0,017g/mm; dan pada sampel 45% substitusi mocaf didapatkan rata-rata nilai sebesar 0,0177g/mm. Dari seluruh sampel tersebut, nilai rheotex tertinggi didapatkan pada sampel dengan 0% substitusi mocaf. Menurut Arsyad (2016) penggunaan mocaf yang berlebih menghasilkan tekstur produk lebih lunak, sedangkan penggunaan terigu yang berlebih menghasilkan tekstur produk yang lebih keras. Hasil tersebut telah sesuai dengan literatur yaitu sampel dengan tidak menggunakan mocaf memiliki nilai yang paling tinggi dibanding ketiga sampel lainnya yang menggunakan substitusi mocaf.
5.3  Cooking loss
Cooking loss merupakan  salah satu parameter yang menunjukkan banyaknya bahan dari mie mentah yang hilang selama proses perebusan. Menurut Wang et al (1999) tingkat cooking loss tergantung pada tingkat gelatinisasi dan kekuatan struktur gel dari mie. Tingkat gelatinisasi dipengaruhi oleh penetrasi panas dan air ke dalam granula (Srichuwong, 2006) sedangkan kekuatan struktur gel dipengaruhi oleh pembentukan ikatan hidrogen antar pati ketika terjadi retrogradasi (Charutigon et al, 2007).
Cooking loss terjadi karena pecahnya granula pati yang membengkak dan kemudian molekul pati linier rantai pendek akan keluar dari granula yang kemudian masuk ke dalam air rebusan sehingga menyebabkan air rebusan menjadi keruh. Penyebab lain cooking loss yaitu lemahnya daya ikat komponen adonan sehingga ada komponen yang larut pada saat perebusan. Keberadaan gluten menurun menyebabkan kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi granula pati berkurang (Widiatmoko dan Estiasih, 2014).
didapatkan hasil yang tidak terlalu signifikan pada tiga sampel yang dilakukan penambahan tepung mocaf. Pada sampel 0% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar 70,5779%; pada sampel 15% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar 99,0286%; pada sampel 30% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar 99,1405%; dan pada sampel 45% substitusi mocaf didapatkan nilai sebesar 99,138%. Dari seluruh sampel tersebut, nilai cooking loss terendah didapatkan pada sampel dengan 0% substitusi mocaf.
Menurut Koswara (2005), setelah pembentukan mie dilakukan proses pengukusan karena pada proses ini terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat.
Dengan adanya gluten yang terkandung pada terigu mampu menghasilkan sifat kenyal dan gaya gelasi tinggi dibandingkan mocaf yang tidak memiliki gluten, tingkat cooking loss tergantung pada tingkat gelatinisasi dan kekuatan struktur gel dari mie. Tingkat gelatinisasi dipengaruhi oleh granula-granula pati yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air.sedangkan kekuatan struktur gel dipengaruhi oleh pembentukan ikatan hidrogen antar pati ketika terjadi retrogradasi (Charutigon et al, 2007).
 Cooking loss merupakan salah satu parameter mutu yang penting karena berkaitan dengan kualitas mie setelah dimasak. Semakin rendahnya nilai cooking loss maka mutu mie semakin bagus. Rendahnya nilai cooking loss pada mie yang dihasilkan diiduga akibat selama pemasakan padatan yang hilang disebabkan oleh terlepasnya amilosa pada untaian mie ke dalam air perebus mie relatif sedikit. Rendahnya nilai cooking loss pada mie juga menunjukkan matriks pati tergelatinisasi telah optimum bertindak sebagai matriks pengikat sehingga menghasilkan mie yang memiliki tekstur yang kompak sehingga menurunkan jumlah padatan yang hilang selama pemasakan Indrianti dkk (2013).
5.4  Uji Organoleptik
Menurut Agusman (2013), penilaian dengan indera disebut juga penilaian organoleptik atau penilaian sensorik. Penilaian dengan indera ini banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Sistem penilaian organoleptik telah dapat dibakukan dan dijadikan alat penilaian dalam laboratorium, dunia usaha, dan perdagangan. Penilaian organoleptik telah digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan.
Uji organoleptik pada produk pangan berguna untuk memberikan informasi mengenai kualitas dan karakteristik dari suatu produk pangan dan merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan daya terima dan kepuasan konsumen.
a.       Warna
Pada penilaian mutu komoditi, cara yang terutama masih dipakai ialah dengan penglihatan. Dengan melihat, orang dapat mengenal dan menilai bentuk, ukuran, kekeruhan, kesegaran produk, warna, dan sifat-sifat permukaan seperti suram, mengilap, homogeny-heterogen, dan datar gelombang. Meskipun warna paling cepat dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit cara pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subyektif dengan penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Zuhrina, 2011).
Berdasarkan gambar 5, dapat diketahui bahwa uji organoleptik warna yang paling banyak disukai oleh panelis yaitu pada penambahan tepung mocaf 15% dan 35% dengan nilai rata-rata sebesar 4,4. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penyimpangan atau ketidaksesuaian terhadap literatur. Seperti yang telah dijelaskan bahwa Mocaf memiliki kandungan pati yang banyak dan terdiri atas gula-gula. Adanya Mocaf inilah yang menyebabkan terjadi reaksi pencoklatan yaitu reaksi Maillard. Semakin banyak mocaf yang ditambahkan maka semakin coklat warna mie yang dihasilkan (Arsyad, 2016). Penyimpangan ini terjadi karena panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sehingga panelis kesulitan untuk membedakan tingkat kecerahan warna pada mie yang disajikan.
b.      Aroma
Pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya atau aromanya dari jarak jauh. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma dari suatu produk atau komoditi baik berupa makanan maupun nonpangan. Kepekaan pembauan lebih tinggi daripada pencicipan. Zat yang diperlukan untuk dapat merangsang indera pembau jumlahnya lebih rendah daripada zat yang diperlukan untuk perangsang indera pencicip. Dalam banyak hal, enaknya makanan ditentukan oleh aromanya. Industri pangan menganggap sangat penting uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produksinya, disukai atau tidak disukai (Agusman, 2013).
Berdasarkan gambar 5, dapat diketahui bahwa uji organoleptik aroma yang paling banyak disukai oleh panelis yaitu pada penambahan tepung mocaf 0% dengan nilai rata-rata sebesar 4,3. Panelis lebih menyukai aroma dari mie perlakuan tepung terigu atau tanpa penambahan tepung mocaf karena panelis lebih terbiasa mengkonsumsi mie dengan bahan baku dari tepung terigu. Sedangkan Penambahan mocaf dapat menghasilkan aroma yang khas namun tidak menimbulkan aroma singkong pada umumnya sehingga panelis yang kurang familair dengan aroma mocaf sehingga merasa asing pada aroma tersebut sehingga cenderung tidak menyukainya..
c.       Tekstur
Tekstur produk merupakan parameter penting untuk berbagai jenis produk. Tekstur merupakan salah faktor yang menentukan mutu produk makanan. Mie merupakan produk pangan semi basah yang memiliki sifat kenyal. Pada pembuatan mie, dilakukan perebusan sehingga terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga menyebabkan dehidrasi protein gluten yang mempengaruhi kekenyalan mie. Hal ini disebabkan karena terputusnya ikatan hidrogen sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat. Sebelum perebusan, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah proses perebusan ikatan bersifat keras dan kuat penyaringan saat menggoreng supaya terbentuk serabut-serabut. Terbentuknya tekstur kenyal juga dikarenakan karakteristik tepung yang digunakan. Hal ini diungkapkan pula oleh Adhadinia (2009) yang menyatakan bahwa tekstur merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penilaian, karena tekstur suatu makanan akan terasa saat konsumen memakannya.
Berdasarkan gambar 5, dapat diketahui bahwa uji organoleptik tekstur yang paling banyak disukai oleh panelis yaitu pada panambahan tepung mocaf 15%. Tekstur mie basah yang disukai adalah mie basah yang kenyal. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa substitusi mocaf dengan tepung terigu berpengaruh nyata terhadap nilai rerata tekstur mie basah yang dihasilkan. Tekstur pada mie dipengaruhi oleh dua hal yaitu kandungan protein gluten dan amilosa. Gluten berpengaruh pada pembentukan tekstur kenyal pada mie basah karena matriks gluten dapat membuat ikatan antar granula pati lebih rapat sehingga gel pati lebih kuat dan tahan terhadap tarikan (Safriani, et al. 2013). Kandungan amilosa dalam tepung mocaf dalam penelitian ini yaitu 20,557% (Hersoelistyorini, et al. 2015). Diduga semakin banyak penggunaan tepung mocaf akan meningkatkan kandungan amilosa pada tepung campuran. Amilosa dari mocaf yang mengakibatkan terjadinya proses retrogradasi pati. Retrogradasi merupakan proses terbentuknya ikatan antara amilosa- amilosa yang telah terdispersi ke dalam air (Kurniawati, 2006). Amilosa ini juga berperan saat proses gelatinisasi dan dapat mengkokohkan kekuatan gel karena daya tahan molekul di dalam granula pati meningkat (Satin, 2001).
d.      Rasa
Rasa merupakan tanggapan indera pengecap terhadap rangsangan saraf, seperti manis, pahit, masam dan asin. Rasa merupakan faktor kedua yang diperhatikan oleh konsumen setelah warna. Menurut Sigit (2017) rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Rasa sangat dipengaruhi oleh bumbu atau rempah yang ditambahkan pada makanan. Bumbu yang ditambahkan akan memberikan cita rasa yang khas pada makanan sesuai dengan asal dari bahan tersebut. Masing-masing jenis bahan yang digunakan memiliki bau khas sehingga pada saat dikonsumsi akan menggambarkan jenis bumbu yang digunakan.
Berdasarkan gambar 5, dapat diketahui bahwa uji organoleptik rasa yang paling banyak disukai oleh panelis yaitu pada penambahan tepung mocaf 0% atau tanpa subtitusi tepung mocaf. Panelis lebih menyukai mie dengan bahan baku tepung terigu lebih disukai oleh panelis karena pada dasarnya panelis lebih terbiasa dengan mie yang berbahan dasar dari tepung terigu. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan Mocaf sebagai subtitusi tepung Terigu dapat memberikan konstribusi positif pada rasa mie yang dihasilkan. Penambahan tepung mocaf mampu menghasilkan cita rasa manis akibat kandungan pati dari bahan baku utamanya yaitu singkong yang kaya dengan karbohidrat sebagai sumber pati. Menurut (Salim,2011) bahwa kadar pati (starch content) pada mocaf kurang lebih 87,3% sedangkan pada terigu berkisar antara 60-68%. mie yang ada memiliki rasa khas terigu namun dengan adanya subtitusi mocaf rasa mie yang dihasilkan sedikit berbeda dan kurang diterima oleh panelis.

BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari praktikum ini, sebagai berikut :
1.      Semakin banyak subtitusi tepung mocaf pada pembuatan mie, semakin tinggi tingkat kecerahan warna yang dihasilkan.
2.      Semakin banyak subtitusi tepung mocaf pada pembuatan mie, tekstur yang dihasilkan semakin lunak dan mudah patah.
3.      Mie tanpa subtitusi tepung mocaf memiliki nilai cooking loss yang rendah maka mutu mie semakin bagus sehingga menghasilkan mie yang lebih kompak.
4.      Secara keseluruhan dari hasil uji organoleptik dari kriteria warna, aroma, tektur dan rasa, panelis lebih menyukai mie tanpa subtitusi tepung mocaf.
6.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya, dalam proses pengujian organoleptik, panelis lebih meningkatkan kemampuan dalam menilai suatu produk agar data yang dihasilkan sesuai dengan literatur yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Agusman. 2013. Pengujian Organoleptik. Modul Penanganan Mutu Fisis (Organoleptik). Semarang. Program Studi Teknologi Pangan : Universitas Muhammadiyah Semarang.

Aminin, A.L.N., Ambarsari, L, Mochtar, H.M. 2003. Produk Reaksi Maillard (MRP) Sebagai Antibakteri dan Pengendali Kadar Dektran dalam Nira Tebu. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi. Vol 3, No.4 hal. 3-5.

Arsyad, M. 2016. Pengaruh Penambahan Tepung Mocaf Terhadap Kualitas Produk Biskuit.  Jurnal Agropolitan Vol.3 (3).

Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Astawan, M. 2004. Sehat Bersama Aneka Serat Pangan Alami. Jakarta: Tiga Serangkai.

Astawan, M. 2006. Membuat Mie dan Bihun. Bogor : Penebar Swadaya.

Badan Standarisasi Nasional. 2015. SNI 2987:2015 Syarat Mutu Mie Basah. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects Of Processing Conditions And The Use Of Modified Starch And Monoglyseride On Some Properties Of Extruded Rice Vermicelli. Swiss Society of Food Science and Technology, LWT 41 (2008) 642-651

Hasbullah, U.H.A., F. Nurdyansyah, B. Supriyadi, R. Umiyati, dan R.M.D. Ujianti. 2017. Sifat Fisik Dan Kimia Tepung UmbiSuweg (Amorphophallus campamulatus BI) di Jawa Tengah. Jurnal Pangan dan Gizi 7(1).

Indrianti, N., Kumalasari, R., Ekafitri, R., dan Darmajana, D. A. 2013. Pengaruh Penggunaan Pati Ganyong, Tapioka, dan Mocaf Sebagai Bahan Substitusi Terhadap SIfat Fisik Mie Jagung Instan. Agritech Vol.33 (4).

Koswara, Sutrisno. 2005. Teknologi Pengolahan Mie. EBookPangan.com

Mudjajanto E.S dan L.N Yulianti. 2004. Membuat Aneka Roti. Jakarta :  Penebar Swadaya.

Pagani, M.A. 1985. Pasta product from non conventional raw material. P:52-68. Proceeding of An International Symposium. Italy : Milan.

Puspasari. 2007. Aplikasi Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Ratnawati, I. 2003. Pengayakan Kandungan β-karoten Mie Ubi Kayu dengan Tepung labu Kuning (Curcubita maxima Dutchenes). Skripsi S-1, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Ritantiyah, L. 2010. Laporan Magang di PT.Tiga Sejahtera Food,Tbk Sragen Indonesia (Quality Control Mie Instan). Surakarta: Fakultas Pertanian, Program Diploma III Teknologi Hasil Pertanian.

Salim, Emil. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf Bisnis Produk Alternatif Pengganti Terigu. Yogyakarta: Lily Publisher.

Sigit, M., Mubarak Akbar, dan Lisa Fianti. 2017. Kualitas Organoleptik Abon Ayam Yang Diberi Perlakuan Substitusi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Jurnal Fillia Cendekia, Volume 2 Nomor 1 Maret 2017.

Srichuwong, S. 2006. Starches From Different Plant Origins : From Structure To Physicochemical Properties. Japan : Mie University. [dissertation]

Subagio, A. 2007. Industrialisasi Modified Cassava Flour (MOCAF) sebagai Bahan Baku Industri Pangan untuk Menunjang Diversifikasi Pangan Pokok Nasional. Jember : Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember.

Suyanti, 2010. Membuat Mie Sehat. Jakarta: Penebar Swadaya.

Widiatmoko, R. B., dan Estiasih, T. 2014. Karakteristik Fisikokimia dan Organoleptik Mie Kering Berbasis Tepung Ubi Jalar Ungu Pada Berbagai Tingkat Penambahan Gluten. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.3 (4).

Widyaningsih, T., B,  danE., S., Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agrisarana.

Yazid, Estien. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia. Yogyakarta : ANDI

Zuhrina. “Pengaruh Penambahan Tepung Kulit Pisang Raja (Musa Paradisiaca) Terhadap Daya Terima Kue Donat”. Skirpsi. Medan: Universitas Sumatra Utara. 2011.


Baca Juga : Teknologi Pengolahan Roti : Laporan Praktikum

0 Response to "Teknologi Pengolahan Mie : Laporan Praktikum"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel